Oleh : Dani Sintara, SH. MH.
Kepala Divisi Advokasi Lentera Konstitusi dan Staf Pengajar
Fakultas Hukum Universitas Muslim Nusantara (FH-UMN) Al-Washliyah
Fakultas Hukum Universitas Muslim Nusantara (FH-UMN) Al-Washliyah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pemikiran.
Kita hidup, sejak lahir hingga mati selalu berurusan dengan hukum atau tepatnya sistem hukum. Tidak ada waktu dan tempat yang terlewatkan oleh sentuhan hukum. Ada begitu banyak aturan (rules) dan peraturan (regulations) yang membelakukan syarat dan prosedur hukum.
Sementara itu kondisi hukum kita saat ini mengalami keterpurukan yang sangat luar biasa. Kepercayaan masyarakat terhadap hukum sangat rendah. Masyarakat Indonesia saat ini sedang berada dalam kondisi transplacement antara mereka yang reformis dengan mereka yang statusquo, antara mereka yang kotor (dirty broom) dengan mereka yang bersih (clean broom). Kedua kelompok tersebut sama kuatnya sehingga hukum sama sekali tidak dapat berfungsi.[1]
Tidak dapat dibantah bahwa masyarakat Indonesia tengah mengalami proses perubahan social yang mendasar dan mencakup berbagai bidang kehidupan dengan pergeseran nilainya beserta dengan berbagai manifestasinya dalam sikap dan perilaku kemasyarakatannya.
Dalam menjalani dan mengarahkan proses perubahan social untuk memunculkan tatanan kemasyarakatan yang ideal, maka Pemerintah mengemban peranan dan tanggungjawab yang besar dan penting. Untuk Indonesia, hal tersebut sudah dengan jelas dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945. mewujudkan tujuan Negara tersebut, dalam situasi konkret di Indonesia berarti melaksanakan pembangunan bangsa yang pada dasarnya berarti juga mengarahkan perubahan social yang berintikan usaha untuk memodernkan kehidupan bangsa Indonesia. Agar semua usaha tersebut dapat berlangsung secara bertanggungjawab maka asfek hukum tidak dapat diabaikan. [2]
Menelaah pengaruh hukum pada perubahan social berarti mempertanyakan apakah hukum dapat menggerakkan dan mengarahkan perubahan social. Artinya dapatkah asfek hukum befungsi sebagai alat atau sarana dalam melakukan pembaharuan terhadap masyarakat ?
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Penulis tertarik untuk memilih dan menetapkan judul tentang “Fungsi Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Masyarakat” untuk ditelaah.
B. Perumusan Masalah.
Adapun yang menjadi permasalahan yang nantinya akan menjadi dasar dari penulisan ini dilakukan adalah : Bagaimana fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan terhadap masyarakat?
C. Kerangka Pemikiran.
Cicero, seorang filsuf pada zaman Romawi kuno, pernah mengeluarkan pernyataan yang sangat terkenal dan dianggap masih relevan dengan situasi dan kondisi masyarakat dewasa ini, yaitu : ubi societas ibi ius yang artinya dimana ada masyarakat maka disitupun ada hukum. [3]
Dari pandangan Cicero tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap kehidupan masyarakat sesungguhnya memiliki mekanisme untuk menciptakan kaidah-kaidah hukum yang berasal dari hubungan dan pergaulan antar sesama warga masyarakat tersebut. Hal ini bisa terjadi karena hukum itu dapat dirumuskan sebagai suatu fenomena (gejala-gejala sosial) terhadap nilai-nilai dan perilaku yang hidup dan berkembang didalam diri manusia tatkala ia berhubungan atau bergaul dengan manusia lainnya didalam masyarakat dimana ia hidup.
Dalam pergaulan masyarakat terdapat aneka macam hubungan antara anggota masyarakat, yakni hubungan yang ditimbulkan oleh kepentingan anggota masyarakat itu. Dengan banyak dan beraneka ragamnya hubungan tersebut, para anggota masyarakat memerlukan aturan-aturan yang dapat menjamin keseimbangan agar dalam hubungan-hubungan itu tidak terjadi kekacauan dalam masyarakat.
Untuk menjamin kelangsungan keseimbangan dalam perhubungan antar anggota masyarakat diperlukan aturan-aturan hukum yang diadakan atas kehendak tiap-tiap anggota masyarakat tersebut. Setiap hubungan kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat. [4]
Untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum tersebut dapat berlangsung terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat, maka peraturan-peraturan hukum yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas keadilan dari masyarakat itu. Dengan demikian sesungguhnya hukum itu bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bermanfaat dan bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dalam masyarakat.
Berkenaan dengan tujuan hukum Subekti mengatakan :
Bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan Negara yang dalam pokoknya adalah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya. Melayani tujuan Negara tersebut adalah dengan menyelenggarakan “keadilan” dan “ketertiban” yang merupakan pokok untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan. Kemudian keadilan itu dapat digambarkan sebagai suatu keadaan keseimbangan yang membawa ketentraman didalam hati orang, dan jika diusik atau dilanggar akan menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan.[5]
Dengan demikian, maka dapat dilihat bahwa hukum tidak saja harus mencari keseimbangan antara berbagai kepentingan yang bertentangan satu sama lain untuk mendapatkan keadilan, tetapi juga hukum harus mendapatkan keseimbangan antara tuntutan keadilan dengan tuntutan ketertiban atau kepastian hukum.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pergulatan Manusia dan Hukumnya.
Sejak dicitrakan sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup berada diluar jejaring tatanan, bagaimana dan apapun bentuknya. Sosialitas menegaskan, bahwa manusia itu adalah makhluk berkelompok, seperti semut, lebah dan lainnya. Tetapi apabila komunitas semut tersebut bersifat alami, maka boleh dikatakan, bahwa jejaring tatanan manusia adalah buatan. Persoalan segera muncul dari tatanan buatan itu. Hukum adalah tatanan yang sengaja dibuat oleh manusia dan sengaja pula untuk dibebankan kepadanya.
Hukum adalah sesuatu yang tidak dapat untuk dipisahkan dari kehidupan manusia. Hukumlah yang mengatur segala sesuatu yang ada dalam masyarakat. Hukum dikatakan sebagai suatu proses dari masyarakat dengan manusia sebagai subjeknya. Bekerjanya hukum didukung dengan pembuatan hukum itu sendiri. Jika pembuatan hukum itu dilakukan dengan baik maka hukum akan berjalan dengan baik, demikian sebaliknya.[6]
Manusia ingin diikat dan ikatan itu dibuatnya sendiri, namun pada waktu yang sama ia berusaha untuk melepaskan ikatan diri dari ikatan yang dibuatnya sendiri itu. Ternyata tidak mudah untuk hidup dengan hukum tersebut. Sejak hukum itu selesai dibuat, kehidupan tidak serta merta berjalan dengan mulus, tetapi tetap penuh dengan gejolak dan patahan.
Kehidupan membutuhkan kaidah social dan dizaman sekarang, hukum menjadi primadona. Melalui lembaga-lembaga yang diciptakannya, manusia memproduksi hukum, tetapi uniknya, hukum itu disana-sini dirasakan membelenggu dan manusia ingin lolos dari belenggu tersebut. Bahkan, orang sempat mengatakan bahwa tanpa hukumpun hidup bisa berjalan. [7]
Sudah terlalu sering kita mendengar ujaran “ubi societas ibi ius” (dimana ada masyarakat disitupun ada hukum), hal tersebut baru merupakan pernyataan sederhana, yaitu bahwa manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup diluar tatanan. Tetapi tidak membicarakan kerumitan yang ada antara societas dan ius tersebut. Tidak sederhana untuk mengatakan bahwa hukum bertujuan untuk menciptakan keamanan dan ketertiban. Alih-alih berbuat demikian, hukum juga bisa menimbulkan persoalan. Kekurang hati-hatian dalam membuat hukum memiliki resiko, bahwa hukum malah menyusahkan atau menimbulkan kerusakan dalam masyarakat. Hukum juga memiliki potensi untuk menjadi kriminogen, sungguh inilah tragedi manusia dan hukumnya. [8]
Hukum modern sarat dengan bentuk-bentuk yang formal, dengan prosedur-prosedur dan birokrasi penyelenggaraan hukum materi hukum dirumuskan secara terukur dan formal dan diciptakan pula konsep-konsep baru serta konstruksi khusus, juga tidak setiap orang bisa menjadi operator hukum, melainkan mereka yang memiliki kualifikasi khusus dan menjalani inisiasi formal tertentu, hakim harus berijazah sarjana hukum, advokat harus mempunyai lisensi kerja, dan seterusnya.
Akibatnya hukum berubah menjadi institusi artificial dan makin menjauh dari masyarakat. Bagi masyarakat umum, hukum lalu menjadi dunia yang esetorik, yaitu hanya bisa dimasuki oleh orang-orang yang telah menjalani inisiasi atau pendidikan khusus. Sejak ketertiban diwakili oleh hukum yang terstruktur dan diadministrasi secara rasional itu, maka orang tidak bisa lagi bergerak secara aman dan selamat dimasyarakat, kecuali memperoleh panduan dari pawing-paang hukum seperti advokat. Orang tidak lagi bisa memperjuangkan kebenaran, hak-hak dan sebagainya, kecuali disalurkan kedalam jalur hukum modern itu.[9]
Apa yang sesungguhnya terjadi sejak dunia dan manusia memasuki era hukum modern dengan sekalian karakteristiknya itu? Kita melihat betapa proses hukum itu makin menjadi proses peraturan. Hukum semakin menampilkan dimensi peraturan daripada manusia. Berdasarkan hal tersebut bahwa sesungguhnya hukum itu tidak bisa dipahami sebagai urusan atau masalah peraturan semata. Hukum lebih merupakan masalah manusia daripada peraturan. Peraturan itu tidak akan menimbulkan berbagai pergolakan dalam hukum apabila tidak digerakkan oleh manusia.
B. Hukum dan Masyarakat Modern Yang Kompleks.
Indeks yang dibuat oleh Unesco untuk mengukur tingkat modernisasi suatu desa mencakup antara lain faktor-faktor :
1. Jumlah tingkatan yang ada pada sekolah-sekolah (semakin banyak tingkat semakin modern).
2. Pengangkutan sesuai dengan keadaan jalan.
3. Pengangkutan sesuai dengan jumlah pelayanan yang dilalui oleh bis (semakin sering semakin modern).
4. Penggunaan radio.
5. Jumlah keragaman pekerjaan / profesi.[10]
Dari faktor-faktor yang dipakai untuk mengukur tingkat kemodernan suatu masyarakat itu dapat diketahui kira-kira bagaimana wajah atau struktur masyarakat yang demikian itu. Dengan demikian kiranya dapat ditunjukkan bahwa masyarakat modern itu memperlihatkan ciri keterbukaan dan pemekaran yang semakin jauh dalam bidang-bidang kehidupan sosialnya.
Kalau hukum boleh dilihat sebagai pembadanan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat, maka semakin padu susunan nilai-nilai itu semakin mudah pula hukum mengaturnya. Kepaduan dalam nilai-nilai yang terdapat didalam masyarakat itu akan memudahkan terjadinya kesepakatan mengenai norma-norma yang berlaku didalam masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka pengaturan oleh hukum dalam masyarakat akan memperlihatkan karakteristiknya sebagai berikut :
1. Kemudahan untuk menentukan pilihan-pilihan.
2. Kesederhanaan dalam organisasi dan prosedur penetapan norma-norma.
3. Kurangnya beban permintaan / tuntutan yang terorganisasi maupun tidak dari anggota masyarakat-masyarakat terhadap pembuat hukum.
4. Kemudahan untuk menyusun norma-norma yang berlaku umum dan yang diikuti dengan efektivitas yang tinggi pula. [11]
Satu hal yang perlu untuk diketahui adalah bahwa semakin modern suatu masyarakat itu maka semakin terbuka pula keadaannya dan semakin luas pemekaran bidang-bidang kehidupan sosial yang ada disitu. Suatu faktor yang sering dikutip sebagai pendorong utama atau pendobrak kearah pemekaran itu adalah teknologi yang dipergunakan. Semakin maju teknologi yang digunakan, maka semakin dibutuhkan dukungan organisasi-organisasi yang kompleks.
Salah satu pengaruh dari penggunaan teknologi sedemikian itu dibidang sosial adalah terhadap bidang ekonomi. Oleh berbagai macam sebab, maka masyarakat dengan teknologi sedemikian itu akan mengalami perbedaan-perbedaan dalam tingkat kehidupan ekonomi yang menonjol diantara para anggotanya. Keadaan yang demikian ini pada gilirannya akan memberikan pengaruhnya terhadap bidang hukum pula.
Dari apa yang diuraikan diatas, bahwa pembuatan hukum didalam masyarakat modern atau yang sedang dalam proses modernisasi adalah tidak sederhana. Kata-kata Von Savigny, bahwa hukum itu merupakan pencerminan “volkgeist”, jiwa rakyat, tidak begitu mudah untuk diterjemahkan mlalui pembuatan hukum dewasa ini. Ungkapan itu akan lebih sesuai dengan masyarakat pedesaan, yang belum mengalami penguraian yang tajam dalam bidang-bidang kehidupan sosialnya. Badan-badan pembuat hukum dalam masyarakat modern lebih banyak berfungsi sebagai tempat untuk mengendapkan konflik nilai-nilai atau memecahkan konflik-konflik itu. [12]
C. Hubungan Antara Perubahan-Perubahan Sosial Dengan Hukum.
Kehidupan sosial suatu masyarakat sangatlah dinamis dalam arti selalu mengalami perubahan dan pergeseran sejalan dengan terjadinya perubahan dan kemajuan kebudayaan (IPTEK). Perubahan tersebut ada yang berjalan denganlambat dan ada pula yang berjalan dengan cepat serta ada yang pengaruhnya kecil terhadap kehidupan manusia dan ada pula yang pengaruhnya besar.
Perubahan sosial atau dalam bahasa Inggris disebut social change adalah segala perubahan yang menyangkut dalam unsure-unsur atau isi dari masyarakat. Untuk dapat lebih memahami pengertian perubahan sosial kita dapat melihat pendapat Selo Soemardjan yang mengatakan :
Perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perilaku diantara kelompok masyarakat. Yang ditekankan adalah adanya pengaruh besar dari unsure-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur kebudayaan immaterial. [13]
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat dapat terjadi oleh karena bermacam-macam sebab. Sebab-sebab tersebut sumbernya ada yang terletak didalam masyarakat itu sendiri dan ada yang letaknya diluar masyarakat itu. Sebab-sebab yang bersumber dalam masyarakat itu sendiri antara lain adalah :
1. Bertambah atau berkurangnya penduduk.
2. Penemuan-penemuan baru.
3. Pertentangan (conflict) dalam masyarakat.
4. Terjadinya pemberontakan atau revolusi didalam tubuh masyarakat itu sendiri
Sedangkan yang bersumber dari luar masyarakat adalah :
1. Sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada disekitar manusia.
2. Pepeangan.
3. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain. [14]
Saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan sosial pada umumnya adalah lembaga-lembaga kemasyarakatan dibidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, dan lain-lain. Lembaga kemasyarakatan mana yang merupakan titik tolak, tergantung pada penilaian tertinggi yang diberikan oleh masyarakat terhadap masing-masing lembaga kemasyarakatan tersebut.
Didalam proses perubahan hukum (terutama yang tertulis) pada umunya dikenal ada 3 (tiga) badan yang dapat mengubah hukum, yaitu badan-badan pembentuk hukum, badan-badan penegak hukum, dan badan-badan pelaksana hukum. Adanya badan-badan pembentuk hukum yang khusus, adanya badan-badan peradilan yang menegakkan hukum merupakan cirri-ciri yang terdapat pada suatu Negara modern.
Keadaan semacam itu di Indonesia dapat membawa akibat bahwa saluran-saluran untuk mengubah hukum dapat dilakukan melalui beberapa badan. Artinya, apabila hukum harus berubah agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka perubahan-perubahan tersebut tidak hanya tergantung pada suatu badan semata-mata. Apabila karena faktor-faktor prosedural suatu badan mengalami kemacetan, maka badan-badan lainnya dapat melaksanakan perubahan-perubahan tersebut. Hal ini sedikit banyaknya juga tergantung pada pejabat-pejabat hukum dari badan-badan tersebut. [15]
Perubahan-perubahan sosial dan perubahan-perubahan hukum (atau sebaliknya, perubahan-perubahan hukum dan perubahan-perubahan sosial) tidak selalu berlangsung bersama-sama. Artinya, pada keadaan-keadaan tertentu perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya dari masyarakat serta kebudayaannya, atau mungkin hal yang sebaliknya yang terjadi,. Apabila terjadi hal yang demkian maka terjadilah social lag, yaitu suatu keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan dalam perkembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan. [16]
Tertinggalnya perkembangan hukum oleh unsur-unsur sosial lainnya, atau sebaliknya, terjadi oleh karena pada hakikatnya merupakan suatu gejala wajar didalam suatu masyarakat bahwa terdapat perbedaan antara pola-pola perikelakuan yang diharapkan oleh kaidah-kaidah hukum dengan pola-pola perikelakuan yang diharapkan oleh kaidah-kaidah sosial lainnya. Hal ini terjadi oleh karena hukum pada hakikatnya disusun atau disahkan oleh bahagian kecil dari masyarakat yang pada suatu ketika mempunyai kekuasaan dan wewenang.
Faktor tertinggalnya kaidah-kaidah hukum sudah menimbulkan pelbagai persoalan, persoalan tersebut akan bertambah banyak apabila diusahakan untuk menyoroti kemungkinan-kemungkinan bahwa unsur-unsur lain dalam masyarakat tertinggal oleh hukum. Selanjutnya pengaruh hukum pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya adalah sangat luas. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum mempengaruhi hampir semua lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Kemungkinan, kesulitan-kesulitan diatas dapat diatasi dengan terlebih dahulu menganalisa peranan hukum dalam mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial dengan membedakan antara aspek-aspek hukum yang secara tidak langsung. Hukum mempunyai pengaruh yang tidak langsung dalam mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial dengan membentuk lembaga-lembaga kemasyarakatan tertentu yang berpengaruh langsung terhadap masyarakat, sebaliknya apabila hukum membentuk atau mengubah basic institutions dalam masyarakat, maka terjadi pengaruh yang langsung. Hal ini akan membawa pembicaraan pada penggunaan hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat.[17]
BAB III
HASIL PEMBAHASAN
Fungsi Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Masyarakat.
Untuk dapat memastikan mengenai adanya hubungan antara hukum dan perubahan masyarakat kiranya perlu diperhatikan tentang bagaimana hukum itu berkait dengan masyarakatnya. Berikut ini kita akan melihat fungsi yang dijalankan oleh hukum didalam masyarakat.
Dua macam fungsi yang berdampingan satu sama lain adalah :
1. Fungsi hukum sebagai sarana pengendalian sosial.
2. Sebagai sarana untuk melakukan social engineering. [18]
Kalau fungsi hukum dilihat sebagai sarana pengendalian sosial, maka kita akan melihat hukum sebagai menjalankan tugas untuk mempertahankan suatu tertib atau pola kehidupan yang telah ada. Hukum disini sekedar menjaga agar setiap orang menjalankan peranannya sebagaimana telah ditentukan atau sebagaimana diharapkan daripadanya.
Sedangkan fungsi hukum sebagai social engineering lebih bersifat dinamis, yaitu hukum digunakan sebagai sarana untuk melakukan perubahan-perubahan didalam masyarakat. Jadi dalam hal ini maka hukum tidak sekedar meneguhkan pola-pola yang memang telah ada didalam masyarakat, melainkan ia berusaha untuk menciptakan hal-hal atau hubungan-hubungan yang baru. Perubahan ini hendak dicapai dengan cara memanipulasi keputusan-keputusan yang akan diambil oleh individu-individu dan mengarahkannya kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki. Manipulasi ini dapat digunakan dengan berbagai macam cara, misalnya dengan memberikan ancaman pidana, insentip, dan sebagainya. Hubungan antara hukum dengan perubahan masyarakat disini sangat jelas sekali, oleh karena hukum disini justeru dipanggil untuk mendatangkan perubahan-perubahan didalam masyarakat. [19]
Kiranya dapat dikatakan bahwa kaidah-kaidah hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat mempunyai peranan penting terutama dalam perubahan-perubahan yang dikehendaki atau perubahan-perubahan yang direncanakan (intended change atau planed change). Dengan perubahan-perubahan yang dikehendaki dan yang direncanakan oleh warga-warga masyarakat yang berperan sebagai pelopor masyarakat dan dalam masyarakat yang sudah kompleks dimana birokrasi memegang peranan penting dalam tindakan-tindakan sosial, mau tak mau harus mempunyai dasar hukum untuk sahnya. Dalam hal ini maka hukum dapat merupakan alat yang ampuh untuk mengadakan perubahan-perubahan sosial. [20]
Sehubungan dengan hal tersebut Roscoe Pound mengatakan :
Hukum itu pada dasarnya merupakan suatu bentuk dari teknik sosial atau rekayasa sosial (social engineering) yang bertujuan untuk mengatur secara harmonis kepentingan dan kebutuhan individu secara optimal, dalam keseimbangan dengan kepentingan masyarakat. Keseimbangan yang harmonis inilah yang dapat dikatakan merupakan hakikat dari keadilan yang harus terdapat dalam hukum. Disamping itu hukum dapat berfungsi sebagai kekuatan dari Negara atau masyarakat yang harus disorganisasi secara politis, sehingga dapat dipergunakan sebagai alat paksa untuk menjamin dan menjaga keselamatan atau keamana masyarakat. [21]
Dengan didasari pemikiran hukum Roscoe Pound serta dengan memperhatikan asfek nilai yang terdapat dalam filsafat Pancasila, Mochtar Kusumaatmadja telah mengintrodusir paradigma teori hukum pembangunan, dengan menyebutkan : “Jika kita artikan dalam artian yang luas, maka hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga (institutions) dan proses-proses (processes) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan”.[22]
Lebih lanjut menurut Mochtar, pengembangan konsepsional dari hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat di Indonesia lebih luas jangkauan dan ruang lingkupnya daripada teori hukum Roscoe Pound, yaitu :
1. Lebih menonjolkan peundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia, walaupun yurisprudensi memegang peranan.
2. Sikap yang menunjukkan kepekaan terhadap kenyataan masyarakat yang menolak aplikasi mekanistis dari konsepsi law as a tool of social engineering.
3. Apabila dalam pengertian hukum termasuk hukum internasional, di Indonesia jauh sebelum konsepsi ini dirumuskan sudah menjalankan asas hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat. [23]
Di Indonesia, penggunaan hukum sebagai sarana perubahan masyarakat berhubungan erat dengan konsep penyelenggaraan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Apabila orang berpendapat bahwa proses sosial ekonomi itu hanya hendak dibiarkan berjalan menurut hukum kemasyarakatan sendiri, maka hukum tidak akan digunakan sebagai sarana perubahan, sebaliknya apabila konsepnya justeru merupakan kebalikan dari yang tersebut diatas, maka peranan hukum sangat penting untuk membangun masyarakat. Oleh karena itu, peranan hukum yang demikian berkaitan erat dengan konsep perkembangan masyarakat yang didasarkan pada perencanaan. Perencanaan membuat pilihan-pilihan yang dilakukan secara sadar tentang jalan yang mana dan cara yang bagaimana yang akan ditempuh oleh masyarakat untuk mencapai tujuannya.
Oleh karena itu, dalam konteks Indonesia, hukum sebagai sarana perubahan masyarakat haruslah didasarkan pada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat untuk dituangkan dalam garis politik dengan memperhatikan berbagai kondisi dan potensi nasional serta direalisasikan dalam proyek-proyek nasional.
Sebagai sarana social engineering, hukum juga merupakan sebagai suatu sarana ynag ditujukan untuk mengubah perikelakuan warga masyarakat sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Salah satu masalah yang dihadapi dalam bisang ini adalah, apabila terjadi apa yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagai softdevelopment, dimana hukum-hukum tertentu dibentuk dan diterapkan ternyata tidak efektif. Gejala-gejala semacam itu akan timbul apabila ada faktor-faktor tertentu yang menjadi halangan. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum, para pencari keadilan (justitiabelen), maupun golongan-golongan lain dalam masyarakat. Faktor-faktor itulah yang harus didefenisikan oleh karena merupakan suatu kelemahan yang terjadi kalau hanya tujuan-tujuan yang dirumuskan tanpa mempertimbangkan sarana-sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka prosesnya tidak hanya berhenti pada pemilihan hukum sebagai sarana saja. Kecuali pengetahuan yang mantap tentang sifat hakikat hukum, juga perlu diketahui adalah batas-batas didalam penggunaan hukum sebagai sarana (untuk mengubah ataupun mengatur peri kelakuan warga masyarakat), sebab sarana yang ada membatasi pencapaian tujuan, sedangkan tujuan menentukan sarana-sarana apakah yang tepat untuk dipergunakan.[24]
Untuk lebih memahamkan terkaitnya peranan hukum sebagai sarana dalam pembaharuan masyarakat, berikut ini akan diberikan beberapa perincian mengenai apa yang secara teknis dilakukan oleh hukum :
1. Hukum memberikan prediktabilitas dalam hubungan-hubungan didalam masyarakat. Semakin tinggi prediktabilitas yang diberikan oleh hukum, semakin tinggi pula nilai kepastian hukum itu terselenggara didalam masyarakat.
2. Hukum memberikan definisi sehingga mengurangi kesimpang-siuran dan kesalah-pahaman yang mungkin terjadi disebabkan tidak adanya pegangan yang dapat diketahui setiap orang. Termasuk kedalam pemberian definisi ini pemberian kejelasan status seseorang.
3. Hukum memberikan jaminan keteraturan dalam cara-cara hubungan-hubungan dijalankan didalam masyarakat, yaitu dengan menegaskan prosedur yang harus dilalui.
4. Hukum mengkodifikasikan tujuan yang ditentukan atau dipilih. Didalam masa pembangunan atau perubahan sosial ini kemampuan teknis hukum untuk mengkodifikasikan tujuan ini menjadi semakin penting, oleh karena pembangunan menghasilkan bermacam-macam tujuan yang ingin dicapai dalam jangka waktu yang bersamaan atau hamper bersamaan. Dengan melakukan kodifikasi tersebut maka tujuan yang ingin dicapai itu juga menjadi jelas. Sebaliknya tujuan yang kabur atau samara-samar pastilah tidak akan membantu kearah pencapaiannya dengan memuaskan.
5. Hukum memberikan kemungkinan pada orang-orang untuk menyesuaikan diri pada perubahan-perubahan. Tanpa fasilitas akomodasi ini maka warga masyarakat dapat mengalami kerugian-kerugian yang sesungguhnya dapat diatasi apabila hukum dibiarkan menjalankan akomodasi itu. [25]
Dengan mengemukakan perincian tersebut diatas, maka dapat diketahui 2 (dua) hal, yaitu : pertama, bahwa hukum itu sesungguhnya memang dipersiapkan sebagai suatu sarana untuk menangani proses-proses didalam masyarakat, termasuk didalamnya proses perubahan. Hal tersebut adalah merupakan bagian dari eksistensi hukum itu sendiri yang harus mampu untuk menyalurkan proses-proses itu secara tertib dan teratur. Kedua, dengan demikian sesungguhnya juga diketahui bahwa adanya potensi pada hukum untuk mampu menangani proses-proses perubahan didalam masyarakat.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Berdasarkan hasil pembahasan tersebut diatas yang berkaitan dengan perumusan masalah, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Bahwa didalam bidang-bidang kehidupan yang lebih memerlukan ketentraman, hukum merupakan sarana untuk mencapai atau mempertahankan stabilitas. Sebaliknya, hukum dapat dipergunakan sebagai sarana untuk merubah masyarakat sepanjang hal tersebut menyangkut bidang-bidang kehidupan yang lebih memerlukan ketertiban. Apabila hukum hendak difungsikan sebagai sarana untuk merubah masyarakat, maka hukum tidak hanya sekedar meneguhkan pola-pola yang memang telah ada didalam masyarakat, melainkan ia berusaha untuk menciptakan hal-hal atau hubungan-hubungan yang baru
B. Saran.
Hukum adalah suatu roman yang dapat menembus dari kehidupan sosial yang teramat dalam mempengaruhi kita. Hukum membentuk kehidupan kita mulai sejak lahir hingga kematian. Hukum seyogyanya dihadapi, dipelajari, dikritik, dan diubah oleh mereka yang menganutnya.
DAFTAR BACAAN
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000.
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986.
Haji Ngamehi Sembiring dkk, Sosiologi, CV. Budi, Medan, 2000.
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, 1986.
-------, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, 1970.
Muhammad Abduh, Zainul Pelly, dan Jusmadi Sikumbang, Pengantar Sosiologi, Fakultas Hukum USU, Medan, 1984.
Muhammad Nuh Lubis dan Zaini Munawir, Diktat Sosiologi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Medan, 2001.
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta, 2007.
-------, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1980.
-------, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1977.
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1994.
Jurnal Hukum KAIDAH, Vol 1 No. 2, Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Medan, Februari 2002.
Jurnal Hukum KAIDAH, Vol 1 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Medan, Oktober 2001.
Jurnal Keadilan, Vol. 2 No. 1 Tahun 2002.
[1] Jurnal Keadilan, Vol. 2 No. 1 Tahun 2002, Hal. 1.
[2] Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000, Hal. 25.
[3] Jurnal Hukum KAIDAH, Vol 1 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Medan, Oktober 2001, Hal. 66.
[4] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, Hal. 40.
[5] Ibid, Hal. 41.
[6] Muhammad Nuh Lubis dan Zaini Munawir, Diktat Sosiologi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Medan, 2001, Hal. 111.
[7] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta, 2007, Hal. 8.
[8] Ibid, Hal. 10.
[9] Ibid, Hal. 13.
[10] Satjipto Raharjo, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1980, Hal. 19.
[11] Ibid, Hal. 20.
[12] Ibid.
[13] Haji Ngamehi Sembiring dkk, Sosiologi, CV. Budi, Medan, 2000, Hal. 21.
[14] Muhammad Abduh, Zainul Pelly, dan Jusmadi Sikumbang, Pengantar Sosiologi, Fakultas Hukum USU, Medan, 1984, Hal. 147-151.
[15] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1994, Hal. 101.
[16] Ibid.
[17] Ibid, Hal. 106.
[18] Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1977, Hal. 143.
[19] Ibid, Hal. 145.
[20] Muhammad Nuh Lubis dan Zaini Munawir S, op cit, Hal. 30.
[21] Jurnal Hukum KAIDAH, Vol 1 No. 2, Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Medan, Februari 2002, Hal. 87.
[22] Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, 1970, Hal. 11.
[23] Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, 1986, Hal. 9-11.
[24] Muhammad Nuh Lubis dan Zaini Munawir S, op cit, Hal. 32.
[25] Satjipto Rahardjo, op cit, Hal. 147.