Oleh : Dani Sintara, SH. MH.
Kepala Divisi Advokasi Lentera Konstitusi dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muslim Nusantara ( FH-UMN) Al-Washliyah.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pemikiran.
Dalam suatu Negara hukum yang salah satu cirinya adalah bahwa setiap tindakan hukum pemerintahan harus selalu didasarkan pada asas legalitas atau harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Artinya tindakan hukum pemerintahan itu pada dasarnya adalah tindakan yang dilakukan dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku atau dalam rangka mengatur dan melayani kepentingan umum yang dikristalisasikan dalam ketentuan Undang-Undang yang bersangkutan. Ketentuan peraturan perundang-undangan ini melahirkan kewenangan tertentu bagi Pemerintah untuk melakukan tindakan tertentu.
Namun demikian, meskipun peraturan perundang-undangan dianggap sebagai sumber hukum administrasi negara yang paling penting, nemun peraturan perundang-undangan sebagai peraturan tertulis memiliki kelemahan.
Bagir Manan Mengatakan :
Sebagai ketentuan tertulis (written rule) atau hukum tertulis (written law), peraturan perundang-undangan mempunyai jangkauan yang terbatas-sekedar ”moment opname” dari unsur-unsur politik, ekonomi, sosial, budaya dan hankam yang paling berpengaruh pada saat pembentukan, karena itu mudah sekali aus (out of date) bila dibandingkan dengan perubahan masyarakat yang semakin menyepat atau dipercepat. [1]
Disamping itu, peraturan perundang-undangan tidak mampu mencakup semua persoalan yang dihadapi oleh administrasi negara. Sebab sekarang ini pada umumnya banyak pendapat yang berkeyakinan bahwa peraturan perundang-undangan saja tidak akan pernah lengkap, kehidupan masyarakat sangat rumit dan cepat berubah, sehingga tidak memungkinkan para pembuat peraturan perundang-undangan memuat berbagai persoalan hukum yang muncul dalam masyarakat (dalam memuatnya dalam suatu perundang-undangan). Tidak ada peraturan yang dapat mengikuti pandangan masyarakat yang beragam dan hubungan yang berubah-ubah dalam masyarakat.
Oleh karena itu, administrasi negara dapat mengambil tindakan-tindakan yang dianggap penting dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat, meskipun belum ada aturannya dalam peraturan perundang-undangan. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh administrasi negara ini akan melahirkan hukum tidak tertulis atau konvensi, apabila dilakukan secara teratur tanpa keberatan dari warga masyarakat, maka hukum yang tidak tertulis yang dilahirkan dari tindakan hukum administrasi negara inilah yang dapat menjadi sumber hukum dalam arti formil.
Namun, tindakan-tindakan yang dapat diambil oleh administrasi negara sebagaimana tersebut diatas, tidak dapat dilakukan dengan begitu saja, akan tetapi ada ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam rangka mewujudkan good governance.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Penulis tertarik untuk memilih dan menetapkan judul tentang “Peranan Peraturan Kebijaksanaan Sebagai Sarana Tata Usaha Negara” untuk ditelaah.
B. Perumusan Masalah.
Adapun yang menjadi permasalahan yang nantinya akan menjadi dasar dari penulisan ini dilakukan adalah :
Bagaimana peranan peraturan kebijaksanaan sebagai sarana tata usaha negara?
C. Kerangka Pemikiran.
Keberadaan peraturan kebijaksanaan tidak dapat dilepaskan dengan kewenangan bebas (vrijebevoegdheid) dari pemerintah yang sering disebut dengan istilah freies ermessen. Karena itu sebelum menjelaskan mengenai peraturan kebijaksanaan, terlebih dahulu dikemukakan mengenai freies ermessen ini.
Secara bahasa, freies ermessen berasal dari kata frei yang artinya bebas, lepas, tidak terikat, dan merdeka. Sedangkan ermessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga, dan memperkirakan. Freies Ermessen berarti orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga dan mempertimbangkan sesuatu. Istilah ini kemudian secara khas digunakan dalam bidang pemerintahan, sehingga freies ermessen (diskresionare) diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada peraturan perundang-undangan. [2]
Definisi lain yang hampir senada dikemukakan oleh Nana Saputra sebagai berikut :
Suatu kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi, yaitu kebebasan yang pada asasnya memperkenankan alat administrasi negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan (doelmatigheid) daripada berpegang teguh kepada ketentuan hukum atau kewenangan yang sah untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas menyelenggarakan kepentingan umum. [3]
Meskipun pemberian freies ermessen kepada Pemerintah atau administrasi negara merupakan konsekuensi logis dari konsepsi welfare state, akan tetapi dalam kerangka negara hukum, freies ermessen ini tidak dapat digunakan tanpa batas. Atas dasar itu Sjachran Basah mengemukakan unsur-unsur freies ermessen dalam suatu negara hukum yaitu sebagai berikut :
1. Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis publik.
2. Merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi negara.
3. Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum.
4. Sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri.
5. Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba.
6. Sikap tindak itu dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun secara hukum. [4]
Freies Ernessen ini muncul sebagai alternatif untuk mengisi kekurangan dan kelemahan didalam penerapan asas legalitas. Bagi negara yang bersifat welfare State, asas legalitas saja tidak cukup untuk dapat berperan secara maksimal dalam melayani kepentingan masyarakat yang berkembang pesat sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
Kemudian freies ermessen ini bertolak dari kewajiban pemerintah dalam welfare state , dimana tugas pemerintah yang utama adalah memberikan pelayanan umum atau mengusahakan kesejahteraan bagi warga negara disamping memberikan perlindungan bagi warga negara. Apabila dibandingkan dengan negara kita, freies ermessen muncul bersama dengan pemberian tugas kepada pemerintah untuk merealisir tujuan negara sebagaimana tercantum dalam alenia keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena tugas utama pemerintah dalam konsep welfare state memberikan pelayanan bagi warga negara, maka muncul prinsip ”pemerintah tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat dengan alasan tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya”.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian Peraturan Kebijaksanaan.
Didalam penyelenggaraan tugas-tugas administrasi Negara, pemerintah banyak mengeluarkan kebijaksanaan yang dituangkan dalam berbagai bentuk, seperti garis-garis kebijaksanaan (beleidslijnen), het beleid (kebijaksanaan), regelingen (petunjuk-petunjuk) dan lain sebagainya.
Menurut Philipus M. Hadjon :
Peraturan kebijaksanaan pada hakikatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha Negara yang bertujuan “naar buiten gebracht schricftelijk beleid” yaitu menempatkan keluar suatu kebijakan tertulis yang hanya berfungsi sebagai bagian dari operasional penyelenggaraa tugas-tugas pemerintahan, karenanya tidak dapat merubah ataupun menyimpangi peraturan perundang-undangan. [5]
Sementara itu Commissie Wetgevingsvraagstukken merumuskan peraturan kebijaksanaan sebaga :
Peraturan umum tentang pelaskanaan wewenang pemerintahan terhadap warga negara (warga negara juga organ pemerintahan lainnya) yang ditetapkan berdasarkan kekuasaan sendiri oleh instansi pemerintahan yang berwenang atau instansi pemerintahan yang secara hirarki lebih tinggi. Peraturan kebijaksanaan secara essensial berkenaan dengan organ pemerintahan dalam hal ini semata-mata menggunakan kewenangan untuk menjalankan tindakan-tindakan pemerintahan. [6]
Secara praktis kewenangan diskresionare administrasi negara yang kemudian melahirkan peraturan kebijaksanaan , mengandung 2 (dua) asfek pokok ; pertama : kebebasan menafsirkan mengenai ruang lingkup wewenang yang dirumuskan dalam peraturan dasar wewenangnya. Aspek pertama ini lazim dikenal dengan kebebsasan menilai yang bersifat obyektif. Kedua : kebebasan untuk menentukan sendiri dan menentukan secara mandiri dari pemerintah inilah yang melahirkan peraturan kebijaksanaan.
Menurut P.J.P. Tak peraturan kebijaksanaan adalah :
Peraturan umum yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah yang berkenaan dengan pelaksanaan wewenang pemerintahan terhadap warga negara atau terhadap instansi pemerintahan lainnya dan pembuatan peraturan tersebut tidak memiliki dasar yang tegas dalam Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang formal baik langsung maupun tidak langsung. Artinya peraturan kebijaksanaan tidak didasarkan pda kewenangan pembuatan undang-undang dan oleh karena itu tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan yang mengikat umum, akan tetapi didasarkan pada wewenang pemerintahan suatu organ administrasi negara yang berkenaan dengan pelaksanaan wewenangnya.[7]
B. Ciri-Ciri Peraturan Kebijaksanaan.
Mengenai ketentuan mengikat dari peraturan kebijaksanaan diantara para pakar hukum tidak terdapat kesamaan, menurut Bagir Manan, peraturan kebijaksanaan sebagai peraturan yang bukan peraturan perundang-undangan tidak langsung mengikat secara hukum. Peraturan kebijaksanaan pada dasarnya ditujukan kepada badan atau pejabat administrasi negara sendiri. Jadi yang pertama-tama melaksanakan ketentuan yang termuat dalam adalah badan atau pejabat administrasi negara. Meskipun demikian, ketentuan tersebut secara tidak langsung akan akan dapat mengenai masyarakat umum. Adapun Indroharto berpendapat bahwa peraturan kebijaksanaan itu bagi masyarakat menimbulkan keterikatansecara tidak langsung. Menurut A. Hamid Attamimi, peraturan kebijaksanaan mengikat secara umum, karena masyarakat yang terkena peraturan itu tidak dapat berbuat lain kecuali mengikutinya. Sedangkan Marcus Lukman mengatakan, kekuatan mengikat peraturan kebijaksanaan ini tergantung jenisnya, peraturan kebijaksanaan intra-legal dan kontra-legal yang pembentukannya berdasarkan kebebasan mempertimbangkan intra-legal menjadi bahagian integral dari tata hirarki peraturan perundang-undangan , kekuatan mengikatnya juga berderajat peraturan perundang-undangan, sedangkan peraturan kebijaksanaan ekstra-legal dan kontra-legal yang pembentukannya berdasarkan kebebasan mempertimbangkan ekstra-legal tidak memiliki kekuatan mengikat berderajat peraturan perundang-undangan. [8]
Berikut ini disajikan mengenai ciri-ciri peraturan kebijaksanaan, Bagir Manan menyebutkan bahwa ciri-ciri dari sebuah peraturan kebijaksanaan adalah :
1. Peraturan kebijaksanaan bukan merupakan peraturan perundang-undangan.
2. Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan tidak dapat diberlakukan pada peraturan kebijaksanaan.
3. Peraturan kebijaksanaan tidak dapat diuji secara wetmatigheid, karena memang tidak ada dasar peraturan perundang-undangan untuk membuat peraturan kebijaksanaan tersebut.
4. Peraturan kebijaksanaan dibuat berdasarkan freies ermessen dan ketiadaan wewenang administrasi bersangkutan membuat peraturan perundang-undangan.
5. Pengujian terhadap peraturan kebijaksanaan lebih diserahkan kepada doelmatigheid dan karena itu batu ujinya adalah asas-asas umum pemerintahan yang layak.
6. Dalam praktek diberi format dalam berbagai bentuk dan jenis aturan, yakni keputusan, instruksi, surat edaran, pengumuman dan lain-lain, bahkan dapat dijumpai dalam bentuk peraturan.[9]
Berdasarkan ciri-ciri tersebut, tampak ada beberapa persamaan antara peraturan perundang-undangan dengan peraturan kebijaksanaan. A. Hamid Attamini menyebutkan unsur-unsur persamaannya sebagai berikut :
1. Aturan yang berlaku umum.
Peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijaksanaan mempunyai adresat atau subyek norma dan pengaturan perilaku atau obyek norma yang sama, yaitu bersifat umum dan abstrak.
2. Peraturan yang berlaku keluar.
Peraturan perundang-undangan berlaku keluar dan ditujukan kepada masyarakat umum, demikian juga peraturan kebijaksanaan berlaku keluar dan ditujukan kepada masyarakat umum yang bersangkutan.
3. Kewenangan pengaturan yang bersifat umum / publik.
Peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijaksanaan ditetapkan oleh lembaga / pejabat yang mempunyai kewenangan umum / publik itu.[10]
C. Ketetapan Yang Sah Dalam Hukum Administrasi Negara.
Dalam membuat suatu ketetapan harus diperhatikan beberapa ketentuan hukum, baik yang tercantum dalam hukum administrasi negara tentang tata cara atau prosedur administrasi tentang pembuatan suatu ketetapan. Sebab apabila ketentuan-ketentuan hukum ini tidak diperhatikan maka ada kemungkinan ketetapan yang dibuat itu akan mengandung kekurangan dan kekurangan dalam membuat suatu ketetapan dapat menjadi sebab ketetapan itu tidak sah.
Timbul pertanyaan, apakah syarat-syarat itu yang dapat merupakan syarat-syarat untuk adanya ketetapan itu? Mengenai hal ini Prof. Van Der Pot mengemukakan 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi agar suatu ketetapan dapat berlaku sebagai ketetapan yang sah, yaitu :
1. Ketetapan harus dibuat oleh badan (orgaan) yang berwenang (bevoegd) membuatnya.
2. Karena ketetapan itu adalah suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring) maka pembentukan kehendak itu tidak boleh mengandung kekurangan yuridis yaitu tidak boleh mengandung paksaan, kekeliruan dan penipuan.
3. Ketetapan itu harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatnya harus juga memperhatikan tata cara (prosedure) membuat ketetapan itu, bilamana tata cara ini ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut.
4. Isi dan tujuan ketetapan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya. [11]
Kekuatan hukum ketetapan yang sah dapat ditinjau dari 2 (dua) segi, yaitu :
- Dari segi kekuatan hukum formil (formile rechts kracht).
- Dari segi kekuatan hukum materil (materiile rechts kracht).
Yang dimaksud kekuatan hukum formil dari suatu ketetapan yang sah adalah : pengaruh yang dapat diadakan oleh karena adanya ketetapan itu, suatu ketetapan mempunyai kekuatan hukum formil bilamana ketetapan itu tidak lagi dapat dibantah oleh suatu alat hukum (rechtsmiddel), misalnya naik banding.
Mengenai kekuatan hukum formil suatu ketetapan yang yuridis sempurna, telah diterima umum suatu asas sebagai berikut :
Alat negara yang membuat suatu ketetapan yang yuridis sempurna tidak dapat membantahnya, kecuali dalam hal jangka waktu untuk memohon banding belum lewat atau dengan perkataan lain pada umumnya kekuatan hukum formil suatu ketetapan yang yuridis sempurna tidak dapat dibantah oleh alat negaran yang membuatnya.[12]
Kranenburg dan Vegting menyebutkan ada 4 (empat) alat hukum yang dapat digunakan oleh yang dikenai sesuatu ketetapan untuk membantah ketetapan itu, sebagai berikut :
1. Yang dikenai suatu ketetapan dapat memohon pembatalan ketetapan itu yaitu dalam hal kemungkinan untuk memohon banding diberikan kepadanya.
2. Yang dikenai suatu ketetapan dapat mengajukan permohonan kepada Pemerintah atau kepada suatu alat Pemerintah lain yang berwenang, supaya ketetapan itu dibatalkan (pembatalan yang diadakan diluar banding).
3. Yang dikenai suatu ketetapan dapat mengajukan permasalahannya kepada Hakim biasa (sipil) sehingga ketetapan itu dinyatakan batal karena bertentangan dengan hukum.
4. Yang dikenai suatu ketetapan tidak melaksanakan apa yang dicantumkan dalam ketetapan itu dan setelah perkara yang bersangkutan dibawa kemuka Hakim, maka diusahakannya supaya Hakim itu menyatakan ketetapan yang bersangkutan batal karena bertentangan dengan hukum. [13]
Selain ketetapan yang mempunyai kekuatan hukum formil, ada juga ketetapan yang mempunyai kekuatan hukum materil, maksudnya adalah pengaruh yang dapat diadakan oleh karena isi (materi) ketetapan itu. Suatu ketetapan mempunyai kekuatan hukum materil bilamana ketetapan itu tidak lagi dapat ditiadakan oleh alat negara yang membuatnya.
Prof. Van Der Pot mengemukakan pendapatnya berkenaan dengan kekuatan hukum materil dari suatu ketetapan yang sah, yaitu : ”Apakah suatu ketetapan oleh alat Pemerintah yang membuatnya dapat diubah atau ditarik kembali dan apakah ada alasan untuk mengajukan permohonan dari yang bersangkutan supaya ketetapan diubah atau ditarik kembali, maka kita sebut hal ini kekuatan hukum materil”. Timbul pertanyaan, dapatkah suatu ketetapan yang mempunyai kekuatan hukum materil dibantah? Pertanyaan ini dijawab oleh Prof. Donner dalam bukunya De Rechtskracht van Administrative Beschikking, bahwa apabila perlu pada asasnya setiap ketetapan dapat ditarik kembali oleh alat negara yang membuatnya, oleh karena ketetapan itu suatu perbuatan hukum yang bersegi satu yang dilakukan oleh pemerintah, maka kemudian ketetapan itu juga dapat ditarik kembali oleh alat negara yang membuatnya dengan tidak perlu ada persetujuan dari yang dikenai. Maka alat negara yang membuat suatu ketetapan mempunyai kemerdekaan penuh untuk kemudian menarik kembali ketetapan itu apabila perlu. Tetapi kemerdekaan tersebut tidak dapat dijalankan dengan begitu saja, oleh sebab itu digunakan kata-kata pada asasnya dapat ditarik kembali. [14]
Kranenburg dan Vegting meragukan asas ini, mereka mengemukakan bahwa penarikan kembali suatu ketetapan, karena ketetapan itu adalah suatu perbuatan hukum yang bersegi satu, adalah kurang tepat. Jadi alasan menarik kembali suatu ketetapan adalah karena sifat dan corak akibat hukum yang ditimbulkan oleh isi ketetapan itu dan yang ditimbulkan oleh peraturan-peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Sedangkan Prins menyetujui kemerdekaan untuk menarik kembali suatu ketetapan oleh alat negara yang membuat ketetapan itu, tetapi kemerdekaan tersebut harus dibatasi oleh syarat kepercayaan baik yang seharusnya ada diantara para pihak dalam suatu pergaulan hukum. Mengenai hal penarikan kembali suatu ketetapan harus diindahkan asas ”hak-hak yang telah diperoleh tidak lagi dapat dicabut kembali apalagi kalau hak-hak yang diperoleh itu telah menggambarkan keadaan yang sungguh-sungguh didalam suatu pergaulan sosial yang ada”. [15]
BAB III
HASIL PEMBAHASAN
Peranan Peraturan Kebijaksanaan Sebagai Sarana Tata Usaha Negara
Pelaksanaan pemerintahan sehari-hari menunjukkan betapa badan atau pejabat tata usaha negara acap kali menempuh berbagai langkah kebijaksanaan tertentu, antara lain menciptakan apa yang kini sering dinamakan peraturan kebijaksanaan. Produk semacam ini tidak terlepas dari kaitan penggunaan freies ermessen, yaitu badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan merumuskan kebijaksanaannya itu dalam berbagai bentuk ”juridische regels”, seperti halnya peraturan, pedoman, pengumuman, surat edaran dan mengumumkan kebijaksanaan itu.
Suatu peraturan kebijaksanaan pada hakekatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis, namun tanpa disertai kewenangan pembuatan peraturan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang menciptakan peraturan kebijaksanaan tersebut. Peraturan-peraturan kebijaksanaan dimaksud pada kenyataannya telah merupakan bagian dari kegiatan pemerintahan (bestuuren) dewasa ini. [16]
Peraturan-peraturan kebijaksanaan bukan merupakan peraturan perundang-undangan. Badan yang mengeluarkan peraturan-peraturan kebijaksanaan adalah in casu tidak memiliki kewenangan pembuatan peraturan. Peraturan-peraturan kebijaksanaan juga tidak mengikat hukum secara langsung, namun mempunyai relevansi hukum. Peraturan-peraturan kebijaksanaan memberi peluang bagaimana suatu badan tata usaha negara menjalankan kewenangan pemerintahan (beschikkingbevoegdheid). Hal tersebut dengan sendirinya harus dikaitkan dengan kewenangan pemerintahan atas dasar penggunaan discretionare karena jika tidak demikian, maka tidak ada tempat bagi peraturan-peraturan kebijaksanaan.
Suatu perbedaan hukum lain yang penting antara peraturan perundang-undangan dengan peraturan-peraturan kebijaksanaan adalah bahwa peraturan kebijaksanaan mengandung suatu syarat pengetahuan yang tidak tertulis. Ini berarti manakala terdapat keadaan-keadaan khusus yang mendesak, maka badan tata usaha negara didalam hal yang sifatnya individual ini harus menyimpang dari peraturan kebijaksanaan guna kemaslahatan sang warga. [17]
Di Indonesia, adanya serangkaian peraturan kebijaksanaan dapat dilihat pada berbagai keputusan. Hanya saja produk peraturan kebijaksanaan sedemikian masih belum secara sadar diberlakukan sebagai peraturan kebijaksanaan mengingat ketiadaan wewenang pembuatan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang membuat peraturan kebijaksanaan itu kadang kala masih dilihat dari sudut ukuran pendekatan hukum. Hal dimaksud mengakibatkan bahwa suatu peraturan kebijaksanaan ada kalanya dinilai sebagai produk perbuatan penguasa yang melanggar hukum.
A.Hamid S. Attamimi sebagaimana yang dikemukakan Van Kreveld mengatakan bahwa :
Peraturan kebijaksanaan dapat timbul dalam berbagai hal, yakni didalam kerangka ruang lingkup perundang-undangan yang ada dan diluar kerangka ruang lingkup perundang-undangan atau juga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan itu sendiri. Hal ini sesuatu yang aneh kedengarannya. Apabila terhadap dua jenis yang pertama orang menganggapnya sebagai hal yang wajar karena peraturan perundang-undangan membiarkannya ataupun tidak melarangnya, namun terhadap yang ketiga orang masih meragukannya. Dapatkah suatu peraturan kebijakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. [18]
Bentuk dan format peraturan kebijaksanaan ada yang sama dengan peraturan perundang-undangan, lengkap dengan pembukaan berupa konsiderans ”menimbang” dan dasar hukum ”mengingat”, batang tubuh yang berupa pasal-pasal, bagian-bagian, bab-bab serta penutup yang sepenuhnya menyerupai peraturan perundang-undangan. Tetapi selain itu juga peraturan kebijaksanaan tampil dalam bentuk dan format lain, seperti nota dinas, surat edaran, petunjuk teknis, pengumuman, dan sebagainya. Bahkan tampil dalam bentuk lisan (kepada bawahan) yang memang tidak mempunyai bentuk dan format. [19]
Disamping terdapat kesamaan, ada pula beberapa perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan peraturan kebijaksanaan. A. Hamid Attamimi menyebutkan perbedaan-perbedaannya sebagai berikut :
1. Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan fungsi negara.
Pembentukan hukum melalui perundang-undangan dilakukan oleh rakyat sendiri, oleh wakil-wakil rakyat, atau sekurang-kurangnya dengan persetujuan wakil-wakil rakyat. Kekuasaan dibidang perundang-undangan atau kekuasaan legislatif hanya diberikan kepada lembaga yang khusus untuk itu yaitu lembaga legislatif (sebagai organ kenegaraan yang bertindak untuk dan atas nama rakyat).
2. Fungsi peraturan kebijaksanaan ada pada pemerintah dalam arti sempit (eksekutif).
Kewenangan pemerintahan dalam arti sempit atau ketataprajaan (kewenangan eksekutif) mengandung juga kewenangan pembentukan peraturan-peraturan dalam rangka penyelenggaraan fungsinya. Oleh karena itu kewenangan pembentukan peraturan kebijaksanaan yang bertujuan mengatur lebih lanjut penyelenggaraan pemerintahan senantiasa dapat dilakukan oleh setiap lembaga pemerintah yang mempunyai wewenang penyelenggaraan pemerintah.
3. Materi muatan peraturan perundang-undangan berbeda dengan materi muatan peraturan kebijaksanaan.
Peraturan kebijaksanaan mengandung materi muatan yang berhubungan dengan kewenangan membentuk keputusan-keputusan dalam arti beschikkingen, kewenangan bertindak dalam hukum privat, dan kewenangan membuat rencana-rencana yang memang ada pada lembaga pemerintahan. Sedangkan materi muatan peraturan perundang-undangan mengatur tata kehidupan masyarakat yang jauh lebih mendasar, seperti mengadakan suruhan dan larangan untuk berbuat atau tidak berbuat, yang apabila perlu disertai dengan sanksi.
4. Sanksi dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijaksanaan.
Sanksi pidana dan sanksi pemaksa yang jelas mengurangi dan membatasi hak-hak asasi warga negara dan penduduk hanya dapat dituangkan dalam undang-undang yang pembentukannya harus dilakukan dengan persetujuan rakyat atau dengan persetujuan wakil-wakilnya. Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah lainnya hanya dapat mencantumkan sanksi pidana bagi pelanggaran ketentuannya apabila hal itu tegas-tegas diatribusikan oleh undang-undang. Peraturan kebijaksanaan hanya dapat mencantumkan sanksi administratif bagi pelanggaran ketentuan-ketentuannya. [20]
Adapun peranan peraturan kebijaksanaan adalah harus dapat difungsikan secara tepat guna dan berdayaguna yaitu dalam hal sebagai berikut :
1. Tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan yang melengkapi, menyempurnakan, dan mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada peraturan perundang-undangan.
2. Tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan bagi keadaan vacum peraturan perundang-undangan.
3. Tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan bagi kepentingan-kepentingan yang belum terakomodasi secara patut, layak, benar dan adil dalam peraturan perundang-undangan.
4. Tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan untuk mengatasi kondisi peraturan perundang-undangan yang sudah ketinggalan zaman.
5. Tepat guna dan berdaya guna bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi administrasi negara dibidang pembangunan yang bersifat cepat berubah atau memerlukan pembaharuan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. [21]
Sebagaimana pembuatan dan penerapan peraturan perundang-undangan yaitu harus memperhatikan beberapa syarat. Menurut Indroharto, pembuatan peraturan kebijaksaan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang diskresioner yang dijabarkan itu.
2. Tidak boleh nyata-nyata bertentangan dengan nalar yang sehat.
3. Ia harus dipersiapkan dengan cermat; semua kepentingan, keadaan-keadaan serta alternatif-alternatif yang perlu dipertimbangkan.
4. Isi dari kebijaksanaan harus memberikan kejelasan yang cukup mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari warga yang terkena peraturan tersebut.
5. Tujuan-tujuan dan dasar-dasar pertimbangan mengenai kebijaksanaan yang akan ditempuh harus jelas.
6. Ia harus memenuhi syarat kepastian hukum materil, artinya hak-hak yang telah diperoleh dari warga masyarakat yang terkena harus dihormati, kemudian juga harapan-harapan warga yang pantas telah ditimbulkan jangan sampai diingkari. [22]
Sedangkan dalam penerapan atau penggunaan peraturan kebijaksanaan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Harus sesuai dan serasi dengan tujuan undang-undang yang memberikan beoordelingsvrijheid (ruang kebebasan bertindak).
2. Serasi dengan asas-asas hukum umum yang berlaku, seperti :
a. Asas perlakuan yang sama menurut hukum.
b. Asas kepatutan dan kewajaran.
c. Asas keseimbangan.
d. Asas pemenuhan kebutuhan dan harapan.
e. Asas kelayakan mempertimbangkan segala sesuatu yang relevan dengan kepentingan publik dan warga masyarakat.
3. Serasi dan tepat guna dengan tujuan yang hendak dicapai. [23]
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Berdasarkan hasil pembahasan tersebut diatas yang berkaitan dengan perumusan masalah, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Suatu peraturan kebijaksanaan pada hakekatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis, namun tanpa disertai kewenangan pembuatan peraturan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang menciptakan peraturan kebijaksanaan tersebut. Peraturan-peraturan kebijaksanaan dimaksud pada kenyataannya telah merupakan bagian dari kegiatan pemerintahan (bestuuren) dewasa ini.
Adapun peranan peraturan kebijaksanaan adalah harus dapat difungsikan secara tepat guna dan berdaya guna yaitu dalam hal :Tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan yang melengkapi, menyempurnakan, dan mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada peraturan perundang-undangan.. Tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan bagi keadaan vacum peraturan perundang-undangan. Tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan bagi kepentingan-kepentingan yang belum terakomodasi secara patut, layak, benar dan adil dalam peraturan perundang-undangan. Tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan untuk mengatasi kondisi peraturan perundang-undangan yang sudah ketinggalan zaman. Tepat guna dan berdaya guna bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi administrasi negara dibidang pembangunan yang bersifat cepat berubah atau memerlukan pembaharuan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi
B. Saran.
Hukum adalah suatu roman yang dapat menembus dari kehidupan sosial yang teramat dalam mempengaruhi kita. Hukum membentuk kehidupan kita mulai sejak lahir hingga kematian. Hukum seyogyanya dihadapi, dipelajari, dikritik, dan diubah oleh mereka yang menganutnya. Sebab hukum yang benar adalah titik universal tertinggi dalam setiap studi tentang kehidupan.
DAFTAR BACAAN
A. Hamid. S Attamimi, Hukum Tentang Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan), Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1993.
Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1979.
Bagir Manan, Peranan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Armico, bandung, 1987.
Marcus Lukman, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan Dalam Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan Didaerah, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1996.
Nana Saputra, Hukum Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta, 1988.
Philipus M. Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2001.
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002.
Saiful Anwar dan Marzuki Lubis, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Gelora Madani Press, Medan, 2004.
Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi, Rineka Cipta, Jakarta, 1992.
[1] Bagir Manan, Peranan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Armico, bandung, 1987, Hal. 1.
[2] Marcus Lukman, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan Dalam Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan Didaerah, Universitas Padjadjaran, bandung, 1996, Hal. 205.
[3] Nana Saputra, Hukum Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta, 1988, Hal. 15.
[4] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002, Hal. 134.
[5] Philipus M. Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2001, Hal. 152.
[8] Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, Hal. 77.
[16] Philipus M. Hadjon, dkk, op.cit, Hal. 153.
[17] Ibid.
[18] A. Hamid. S Attamimi, Hukum Tentang Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan), Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1993, Hal. 12.
[19] Saiful Anwar dan Marzuki Lubis, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Gelora Madani Press, Medan, 2004, Hal. 117.
[20] A. Hamid S. Attamimi, op.cit, Hal. 13.
[21] Ridwan HR, op.cit, Hal. 145.
[22] Ibid, Hal. 146.
[23] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar