Sepanjang tahun 2011, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengevaluasi sekitar 9000 peraturan daerah (perda). Dari jumlah itu, sebanyak 351 perda direkomendasikan untuk dibatalkan. dari perda-perda yang dibatalkan sebagian besar merupakan perda yang mengatur tentang pajak dan retribusi, perda yang mengatur pelarangan peredaran minuman beralkohol, dan perda tentang sumbangan pihak ketiga. Khusus mengenai perda pelarangan peredaran minuman beralkohol antara lain Perda Nomor 7 tahun 2005 di Kota Tangerang, Perda Nomor 15 tahun 2006 di Kabupaten Indramayu, dan Perda Nomor 11 tahun 2010 di Kota Bandung, dibatalkan karena melanggar aturan yang lebih tinggi, yakni Keppres Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol. Pembatalan ini menimbulkan polemik di masyarakat. Sebagian kalangan menyatakan bahwa langkah Mendagri tersebut melanggar aturan yang berlaku sebagaimana tercantum dalam Pasal 145 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah selain itu juga terkesan Mendagri menolerir legalisasi miras di tengah-tengah masyarakat. Namun Kemendagri berkilah bahwa yang dilakukannya adalah merupakan klarifikasi bukan membatalkan perda tersebut, kewenangan pembatalan terhadap perda bukan merupakan kewenangan Mendagri akan tetapi merupakan kewenangan Presiden.
Klarifikasi Peraturan Daerah
Secara eksplisit, istilah klarifikasi tercantum dalam ketentuan Pasal 1 angka Peraturan Mendagri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah yang menyebutkan "Klarifikasi adalah pengkajian dan penilaian terhadap Perda dan Perkada untuk mengetahui bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi". Klarifikasi merupakan upaya pengawasan yang bersifat represif terhadap produk hukum perda dan perkada yang telah diundangkan oleh pemerintah daerah, Pengawasan terhadap aktifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah termasuk pengawasan terhadap produk hukum daerah merupakan suatu konsekuensi logis Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hal ini menunjukkan bahwa di dalam NKRI tidak boleh ada bagian daerah yang lepas atau tidak ada negara di dalam negara. Alat uji untuk menilai perda atau perkada adalah kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam hal perda atau perkada dianggap bertentangan dengan hal tersebut, maka perda atau perkada tersebut dapat dibatalkan oleh Mendagri yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri. Dalam hal pemerintah daerah tidak melaksanakan hasil klarifikasi, maka Mendagri mengusulkan kepada Presiden untuk membatalkan perda dimaksud.(lihat Pasal 75-79 Permendagri Nomor 53 Tahun 2011).
Bila dianalisis, ketentuan Permendagri Nomor 53 Tahun 2011 juga dapat dikatakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, karena berdasarkan ketentuan Pasal 145 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 keputusan pembatalan perda ditetapkan melalui instrumen hukum Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda bukan melalui instrumen hukum Permendagri.
Pembatalan Perda Pelarangan Miras
Sebenarnya apabila ditelusuri pembatalan terhadap tiga perda tentang pelarangan peredaran minuman keras, yakni: Perda Nomor 7 tahun 2005 di Kota Tangerang, Perda Nomor 15 tahun 2006 di Kabupaten Indramayu, dan Perda Nomor 11 tahun 2010 di Kota Bandung, memang bertentangan dengan Keppres Nomor 3 Tahun 1997 maupun Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 15/M-DAG/PER/3/2006 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Impor, Pengedaran Dan Penjualan, Dan Perizinan Minuman Beralkohol. Karena ketiga perda tersebut melarang secara total baik produksi maupun peredaran minuman beralkohol, sedangkan ketentuan Keppres maupun Peraturan Menteri Perdagangan masih memungkinkan produksi maupun peredaran minuman beralkohol dengan batasan-batasan tertentu. Namun, telah disebutkan sebelumnya bahwa alat uji untuk menilai keberlakuan suatu perda bukan hanya peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, akan tetapi ada alat uji lain yakni kepentingan umum (walaupun makna "kepentingan umum" itu sendiri masih menjadi perdebatan). Ketika kepentingan mayoritas masyarakat di daerah menginginkan pelarangan produksi maupun peredaran minuman beralkohol dengan pertimbangan kondisi khusus di daerah yang religius, tentunya pengaturan mengenai hal tersebut menjadi keniscayaan bagi daerah.
Pemerintah pusat dalam hal ini seharusnya tidak gegabah melakukan pembatalan perda-perda tersebut sebelum melakukan kajian yang komprehensif terlebih dahulu untuk mencari akar permasalahan yang sesungguhnya. Apalagi pengaturan minuman beralkohol merupakan suatu hal yang sangat sensitif bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Penutup
Tidak menutup kemungkinan, akan muncul perda-perda sejenis di berbagai daerah, untuk itu sebaiknya pemerintah pusat melakukan langkah-langkah konkrit untuk segera melakukan kajian dan perubahan terhadap Keppres Nomor 3 Tahun 1997 maupun Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15/M-DAG/PER/3/2006. Sehingga nantinya dimungkinkan bagi daerah-daerah tertentu untuk memberlakukan perda tentang pelarangan miras, tentunya dengan mempertimbangkan kondisi khusus dan keinginan mayoritas masyarakat daerah.
Kepala Divisi Advokasi Lentera Konstitusi dan Staf Pengajar
Fakultas Hukum Universitas Muslim Nusantara (FH-UMN) Al-Washliyah
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Pemikiran.
Kita hidup, sejak lahir hingga mati selalu berurusan dengan hukum atau tepatnya sistem hukum. Tidak ada waktu dan tempat yang terlewatkan oleh sentuhan hukum. Ada begitu banyak aturan (rules) dan peraturan (regulations) yang membelakukan syarat dan prosedur hukum.
Sementara itu kondisi hukum kita saat ini mengalami keterpurukan yang sangat luar biasa. Kepercayaan masyarakat terhadap hukum sangat rendah. Masyarakat Indonesia saat ini sedang berada dalam kondisi transplacement antara mereka yang reformis dengan mereka yang statusquo, antara mereka yang kotor (dirty broom) dengan mereka yang bersih (clean broom). Kedua kelompok tersebut sama kuatnya sehingga hukum sama sekali tidak dapat berfungsi.[1]
Tidak dapat dibantah bahwa masyarakat Indonesia tengah mengalami proses perubahan social yang mendasar dan mencakup berbagai bidang kehidupan dengan pergeseran nilainya beserta dengan berbagai manifestasinya dalam sikap dan perilaku kemasyarakatannya.
Dalam menjalani dan mengarahkan proses perubahan social untuk memunculkan tatanan kemasyarakatan yang ideal, maka Pemerintah mengemban peranan dan tanggungjawab yang besar dan penting. Untuk Indonesia, hal tersebut sudah dengan jelas dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945. mewujudkan tujuan Negara tersebut, dalam situasi konkret di Indonesia berarti melaksanakan pembangunan bangsa yang pada dasarnya berarti juga mengarahkan perubahan social yang berintikan usaha untuk memodernkan kehidupan bangsa Indonesia. Agar semua usaha tersebut dapat berlangsung secara bertanggungjawab maka asfek hukum tidak dapat diabaikan. [2]
Menelaah pengaruh hukum pada perubahan social berarti mempertanyakan apakah hukum dapat menggerakkan dan mengarahkan perubahan social. Artinya dapatkah asfek hukum befungsi sebagai alat atau sarana dalam melakukan pembaharuan terhadap masyarakat ?
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Penulis tertarik untuk memilih dan menetapkan judul tentang “Fungsi Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Masyarakat” untuk ditelaah.
B.Perumusan Masalah.
Adapun yang menjadi permasalahan yang nantinya akan menjadi dasar dari penulisan ini dilakukan adalah : Bagaimana fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan terhadap masyarakat?
C.Kerangka Pemikiran.
Cicero, seorang filsuf pada zaman Romawi kuno, pernah mengeluarkan pernyataan yang sangat terkenal dan dianggap masih relevan dengan situasi dan kondisi masyarakat dewasa ini, yaitu : ubi societas ibi ius yang artinya dimana ada masyarakat maka disitupun ada hukum. [3]
Dari pandangan Cicero tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap kehidupan masyarakat sesungguhnya memiliki mekanisme untuk menciptakan kaidah-kaidah hukum yang berasal dari hubungan dan pergaulan antar sesama warga masyarakat tersebut. Hal ini bisa terjadi karena hukum itu dapat dirumuskan sebagai suatu fenomena (gejala-gejala sosial) terhadap nilai-nilai dan perilaku yang hidup dan berkembang didalam diri manusia tatkala ia berhubungan atau bergaul dengan manusia lainnya didalam masyarakat dimana ia hidup.
Dalam pergaulan masyarakat terdapat aneka macam hubungan antara anggota masyarakat, yakni hubungan yang ditimbulkan oleh kepentingan anggota masyarakat itu. Dengan banyak dan beraneka ragamnya hubungan tersebut, para anggota masyarakat memerlukan aturan-aturan yang dapat menjamin keseimbangan agar dalam hubungan-hubungan itu tidak terjadi kekacauan dalam masyarakat.
Untuk menjamin kelangsungan keseimbangan dalam perhubungan antar anggota masyarakat diperlukan aturan-aturan hukum yang diadakan atas kehendak tiap-tiap anggota masyarakat tersebut. Setiap hubungan kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat. [4]
Untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum tersebut dapat berlangsung terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat, maka peraturan-peraturan hukum yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas keadilan dari masyarakat itu. Dengan demikian sesungguhnya hukum itu bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bermanfaat dan bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dalam masyarakat.
Berkenaan dengan tujuan hukum Subekti mengatakan :
Bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan Negara yang dalam pokoknya adalah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya. Melayani tujuan Negara tersebut adalah dengan menyelenggarakan “keadilan” dan “ketertiban” yang merupakan pokok untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan. Kemudian keadilan itu dapat digambarkan sebagai suatu keadaan keseimbangan yang membawa ketentraman didalam hati orang, dan jika diusik atau dilanggar akan menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan.[5]
Dengan demikian, maka dapat dilihat bahwa hukum tidak saja harus mencari keseimbangan antara berbagai kepentingan yang bertentangan satu sama lain untuk mendapatkan keadilan, tetapi juga hukum harus mendapatkan keseimbangan antara tuntutan keadilan dengan tuntutan ketertiban atau kepastian hukum.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.Pergulatan Manusia dan Hukumnya.
Sejak dicitrakan sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup berada diluar jejaring tatanan, bagaimana dan apapun bentuknya. Sosialitas menegaskan, bahwa manusia itu adalah makhluk berkelompok, seperti semut, lebah dan lainnya. Tetapi apabila komunitas semut tersebut bersifat alami, maka boleh dikatakan, bahwa jejaring tatanan manusia adalah buatan. Persoalan segera muncul dari tatanan buatan itu. Hukum adalah tatanan yang sengaja dibuat oleh manusia dan sengaja pula untuk dibebankan kepadanya.
Hukum adalah sesuatu yang tidak dapat untuk dipisahkan dari kehidupan manusia. Hukumlah yang mengatur segala sesuatu yang ada dalam masyarakat. Hukum dikatakan sebagai suatu proses dari masyarakat dengan manusia sebagai subjeknya. Bekerjanya hukum didukung dengan pembuatan hukum itu sendiri. Jika pembuatan hukum itu dilakukan dengan baik maka hukum akan berjalan dengan baik, demikian sebaliknya.[6]
Manusia ingin diikat dan ikatan itu dibuatnya sendiri, namun pada waktu yang sama ia berusaha untuk melepaskan ikatan diri dari ikatan yang dibuatnya sendiri itu. Ternyata tidak mudah untuk hidup dengan hukum tersebut. Sejak hukum itu selesai dibuat, kehidupan tidak serta merta berjalan dengan mulus, tetapi tetap penuh dengan gejolak dan patahan.
Kehidupan membutuhkan kaidah social dan dizaman sekarang, hukum menjadi primadona. Melalui lembaga-lembaga yang diciptakannya, manusia memproduksi hukum, tetapi uniknya, hukum itu disana-sini dirasakan membelenggu dan manusia ingin lolos dari belenggu tersebut. Bahkan, orang sempat mengatakan bahwa tanpa hukumpun hidup bisa berjalan. [7]
Sudah terlalu sering kita mendengar ujaran “ubi societas ibi ius” (dimana ada masyarakat disitupun ada hukum), hal tersebut baru merupakan pernyataan sederhana, yaitu bahwa manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup diluar tatanan. Tetapi tidak membicarakan kerumitan yang ada antara societas dan ius tersebut. Tidak sederhana untuk mengatakan bahwa hukum bertujuan untuk menciptakan keamanan dan ketertiban. Alih-alih berbuat demikian, hukum juga bisa menimbulkan persoalan. Kekurang hati-hatian dalam membuat hukum memiliki resiko, bahwa hukum malah menyusahkan atau menimbulkan kerusakan dalam masyarakat. Hukum juga memiliki potensi untuk menjadi kriminogen, sungguh inilah tragedi manusia dan hukumnya. [8]
Hukum modern sarat dengan bentuk-bentuk yang formal, dengan prosedur-prosedur dan birokrasi penyelenggaraan hukum materi hukum dirumuskan secara terukur dan formal dan diciptakan pula konsep-konsep baru serta konstruksi khusus, juga tidak setiap orang bisa menjadi operator hukum, melainkan mereka yang memiliki kualifikasi khusus dan menjalani inisiasi formal tertentu, hakim harus berijazah sarjana hukum, advokat harus mempunyai lisensi kerja, dan seterusnya.
Akibatnya hukum berubah menjadi institusi artificial dan makin menjauh dari masyarakat. Bagi masyarakat umum, hukum lalu menjadi dunia yang esetorik, yaitu hanya bisa dimasuki oleh orang-orang yang telah menjalani inisiasi atau pendidikan khusus. Sejak ketertiban diwakili oleh hukum yang terstruktur dan diadministrasi secara rasional itu, maka orang tidak bisa lagi bergerak secara aman dan selamat dimasyarakat, kecuali memperoleh panduan dari pawing-paang hukum seperti advokat. Orang tidak lagi bisa memperjuangkan kebenaran, hak-hak dan sebagainya, kecuali disalurkan kedalam jalur hukum modern itu.[9]
Apa yang sesungguhnya terjadi sejak dunia dan manusia memasuki era hukum modern dengan sekalian karakteristiknya itu? Kita melihat betapa proses hukum itu makin menjadi proses peraturan. Hukum semakin menampilkan dimensi peraturan daripada manusia. Berdasarkan hal tersebut bahwa sesungguhnya hukum itu tidak bisa dipahami sebagai urusan atau masalah peraturan semata. Hukum lebih merupakan masalah manusia daripada peraturan. Peraturan itu tidak akan menimbulkan berbagai pergolakan dalam hukum apabila tidak digerakkan oleh manusia.
B.Hukum dan Masyarakat Modern Yang Kompleks.
Indeks yang dibuat oleh Unesco untuk mengukur tingkat modernisasi suatu desa mencakup antara lain faktor-faktor :
1.Jumlah tingkatan yang ada pada sekolah-sekolah (semakin banyak tingkat semakin modern).
2.Pengangkutan sesuai dengan keadaan jalan.
3.Pengangkutan sesuai dengan jumlah pelayanan yang dilalui oleh bis (semakin sering semakin modern).
Dari faktor-faktor yang dipakai untuk mengukur tingkat kemodernan suatu masyarakat itu dapat diketahui kira-kira bagaimana wajah atau struktur masyarakat yang demikian itu. Dengan demikian kiranya dapat ditunjukkan bahwa masyarakat modern itu memperlihatkan ciri keterbukaan dan pemekaran yang semakin jauh dalam bidang-bidang kehidupan sosialnya.
Kalau hukum boleh dilihat sebagai pembadanan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat, maka semakin padu susunan nilai-nilai itu semakin mudah pula hukum mengaturnya. Kepaduan dalam nilai-nilai yang terdapat didalam masyarakat itu akan memudahkan terjadinya kesepakatan mengenai norma-norma yang berlaku didalam masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka pengaturan oleh hukum dalam masyarakat akan memperlihatkan karakteristiknya sebagai berikut :
1.Kemudahan untuk menentukan pilihan-pilihan.
2.Kesederhanaan dalam organisasi dan prosedur penetapan norma-norma.
3.Kurangnya beban permintaan / tuntutan yang terorganisasi maupun tidak dari anggota masyarakat-masyarakat terhadap pembuat hukum.
4.Kemudahan untuk menyusun norma-norma yang berlaku umum dan yang diikuti dengan efektivitas yang tinggi pula. [11]
Satu hal yang perlu untuk diketahui adalah bahwa semakin modern suatu masyarakat itu maka semakin terbuka pula keadaannya dan semakin luas pemekaran bidang-bidang kehidupan sosial yang ada disitu. Suatu faktor yang sering dikutip sebagai pendorong utama atau pendobrak kearah pemekaran itu adalah teknologi yang dipergunakan. Semakin maju teknologi yang digunakan, maka semakin dibutuhkan dukungan organisasi-organisasi yang kompleks.
Salah satu pengaruh dari penggunaan teknologi sedemikian itu dibidang sosial adalah terhadap bidang ekonomi. Oleh berbagai macam sebab, maka masyarakat dengan teknologi sedemikian itu akan mengalami perbedaan-perbedaan dalam tingkat kehidupan ekonomi yang menonjol diantara para anggotanya. Keadaan yang demikian ini pada gilirannya akan memberikan pengaruhnya terhadap bidang hukum pula.
Dari apa yang diuraikan diatas, bahwa pembuatan hukum didalam masyarakat modern atau yang sedang dalam proses modernisasi adalah tidak sederhana. Kata-kata Von Savigny, bahwa hukum itu merupakan pencerminan “volkgeist”, jiwa rakyat, tidak begitu mudah untuk diterjemahkan mlalui pembuatan hukum dewasa ini. Ungkapan itu akan lebih sesuai dengan masyarakat pedesaan, yang belum mengalami penguraian yang tajam dalam bidang-bidang kehidupan sosialnya. Badan-badan pembuat hukum dalam masyarakat modern lebih banyak berfungsi sebagai tempat untuk mengendapkan konflik nilai-nilai atau memecahkan konflik-konflik itu. [12]
C.Hubungan Antara Perubahan-Perubahan Sosial Dengan Hukum.
Kehidupan sosial suatu masyarakat sangatlah dinamis dalam arti selalu mengalami perubahan dan pergeseran sejalan dengan terjadinya perubahan dan kemajuan kebudayaan (IPTEK). Perubahan tersebut ada yang berjalan denganlambat dan ada pula yang berjalan dengan cepat serta ada yang pengaruhnya kecil terhadap kehidupan manusia dan ada pula yang pengaruhnya besar.
Perubahan sosial atau dalam bahasa Inggris disebut social change adalah segala perubahan yang menyangkut dalam unsure-unsur atau isi dari masyarakat. Untuk dapat lebih memahami pengertian perubahan sosial kita dapat melihat pendapat Selo Soemardjan yang mengatakan :
Perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perilaku diantara kelompok masyarakat. Yang ditekankan adalah adanya pengaruh besar dari unsure-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur kebudayaan immaterial. [13]
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat dapat terjadi oleh karena bermacam-macam sebab. Sebab-sebab tersebut sumbernya ada yang terletak didalam masyarakat itu sendiri dan ada yang letaknya diluar masyarakat itu. Sebab-sebab yang bersumber dalam masyarakat itu sendiri antara lain adalah :
1.Bertambah atau berkurangnya penduduk.
2.Penemuan-penemuan baru.
3.Pertentangan (conflict) dalam masyarakat.
4.Terjadinya pemberontakan atau revolusi didalam tubuh masyarakat itu sendiri
Sedangkan yang bersumber dari luar masyarakat adalah :
1.Sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada disekitar manusia.
Saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan sosial pada umumnya adalah lembaga-lembaga kemasyarakatan dibidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, dan lain-lain. Lembaga kemasyarakatan mana yang merupakan titik tolak, tergantung pada penilaian tertinggi yang diberikan oleh masyarakat terhadap masing-masing lembaga kemasyarakatan tersebut.
Didalam proses perubahan hukum (terutama yang tertulis) pada umunya dikenal ada 3 (tiga) badan yang dapat mengubah hukum, yaitu badan-badan pembentuk hukum, badan-badan penegak hukum, dan badan-badan pelaksana hukum. Adanya badan-badan pembentuk hukum yang khusus, adanya badan-badan peradilan yang menegakkan hukum merupakan cirri-ciri yang terdapat pada suatu Negara modern.
Keadaan semacam itu di Indonesia dapat membawa akibat bahwa saluran-saluran untuk mengubah hukum dapat dilakukan melalui beberapa badan. Artinya, apabila hukum harus berubah agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka perubahan-perubahan tersebut tidak hanya tergantung pada suatu badan semata-mata. Apabila karena faktor-faktor prosedural suatu badan mengalami kemacetan, maka badan-badan lainnya dapat melaksanakan perubahan-perubahan tersebut. Hal ini sedikit banyaknya juga tergantung pada pejabat-pejabat hukum dari badan-badan tersebut. [15]
Perubahan-perubahan sosial dan perubahan-perubahan hukum (atau sebaliknya, perubahan-perubahan hukum dan perubahan-perubahan sosial) tidak selalu berlangsung bersama-sama. Artinya, pada keadaan-keadaan tertentu perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya dari masyarakat serta kebudayaannya, atau mungkin hal yang sebaliknya yang terjadi,. Apabila terjadi hal yang demkian maka terjadilah social lag, yaitu suatu keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan dalam perkembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan. [16]
Tertinggalnya perkembangan hukum oleh unsur-unsur sosial lainnya, atau sebaliknya, terjadi oleh karena pada hakikatnya merupakan suatu gejala wajar didalam suatu masyarakat bahwa terdapat perbedaan antara pola-pola perikelakuan yang diharapkan oleh kaidah-kaidah hukum dengan pola-pola perikelakuan yang diharapkan oleh kaidah-kaidah sosial lainnya. Hal ini terjadi oleh karena hukum pada hakikatnya disusun atau disahkan oleh bahagian kecil dari masyarakat yang pada suatu ketika mempunyai kekuasaan dan wewenang.
Faktor tertinggalnya kaidah-kaidah hukum sudah menimbulkan pelbagai persoalan, persoalan tersebut akan bertambah banyak apabila diusahakan untuk menyoroti kemungkinan-kemungkinan bahwa unsur-unsur lain dalam masyarakat tertinggal oleh hukum. Selanjutnya pengaruh hukum pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya adalah sangat luas. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum mempengaruhi hampir semua lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Kemungkinan, kesulitan-kesulitan diatas dapat diatasi dengan terlebih dahulu menganalisa peranan hukum dalam mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial dengan membedakan antara aspek-aspek hukum yang secara tidak langsung. Hukum mempunyai pengaruh yang tidak langsung dalam mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial dengan membentuk lembaga-lembaga kemasyarakatan tertentu yang berpengaruh langsung terhadap masyarakat, sebaliknya apabila hukum membentuk atau mengubah basic institutions dalam masyarakat, maka terjadi pengaruh yang langsung. Hal ini akan membawa pembicaraan pada penggunaan hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat.[17]
BAB III
HASIL PEMBAHASAN
Fungsi Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Masyarakat.
Untuk dapat memastikan mengenai adanya hubungan antara hukum dan perubahan masyarakat kiranya perlu diperhatikan tentang bagaimana hukum itu berkait dengan masyarakatnya. Berikut ini kita akan melihat fungsi yang dijalankan oleh hukum didalam masyarakat.
Dua macam fungsi yang berdampingan satu sama lain adalah :
1.Fungsi hukum sebagai sarana pengendalian sosial.
2.Sebagai sarana untuk melakukan social engineering. [18]
Kalau fungsi hukum dilihat sebagai sarana pengendalian sosial, maka kita akan melihat hukum sebagai menjalankan tugas untuk mempertahankan suatu tertib atau pola kehidupan yang telah ada. Hukum disini sekedar menjaga agar setiap orang menjalankan peranannya sebagaimana telah ditentukan atau sebagaimana diharapkan daripadanya.
Sedangkan fungsi hukum sebagai social engineering lebih bersifat dinamis, yaitu hukum digunakan sebagai sarana untuk melakukan perubahan-perubahan didalam masyarakat. Jadi dalam hal ini maka hukum tidak sekedar meneguhkan pola-pola yang memang telah ada didalam masyarakat, melainkan ia berusaha untuk menciptakan hal-hal atau hubungan-hubungan yang baru. Perubahan ini hendak dicapai dengan cara memanipulasi keputusan-keputusan yang akan diambil oleh individu-individu dan mengarahkannya kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki. Manipulasi ini dapat digunakan dengan berbagai macam cara, misalnya dengan memberikan ancaman pidana, insentip, dan sebagainya. Hubungan antara hukum dengan perubahan masyarakat disini sangat jelas sekali, oleh karena hukum disini justeru dipanggil untuk mendatangkan perubahan-perubahan didalam masyarakat. [19]
Kiranya dapat dikatakan bahwa kaidah-kaidah hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat mempunyai peranan penting terutama dalam perubahan-perubahan yang dikehendaki atau perubahan-perubahan yang direncanakan (intended change atau planed change). Dengan perubahan-perubahan yang dikehendaki dan yang direncanakan oleh warga-warga masyarakat yang berperan sebagai pelopor masyarakat dan dalam masyarakat yang sudah kompleks dimana birokrasi memegang peranan penting dalam tindakan-tindakan sosial, mau tak mau harus mempunyai dasar hukum untuk sahnya. Dalam hal ini maka hukum dapat merupakan alat yang ampuh untuk mengadakan perubahan-perubahan sosial. [20]
Sehubungan dengan hal tersebut Roscoe Pound mengatakan :
Hukum itu pada dasarnya merupakan suatu bentuk dari teknik sosial atau rekayasa sosial (social engineering) yang bertujuan untuk mengatur secara harmonis kepentingan dan kebutuhan individu secara optimal, dalam keseimbangan dengan kepentingan masyarakat. Keseimbangan yang harmonis inilah yang dapat dikatakan merupakan hakikat dari keadilan yang harus terdapat dalam hukum. Disamping itu hukum dapat berfungsi sebagai kekuatan dari Negara atau masyarakat yang harus disorganisasi secara politis, sehingga dapat dipergunakan sebagai alat paksa untuk menjamin dan menjaga keselamatan atau keamana masyarakat. [21]
Dengan didasari pemikiran hukum Roscoe Pound serta dengan memperhatikan asfek nilai yang terdapat dalam filsafat Pancasila, Mochtar Kusumaatmadja telah mengintrodusir paradigma teori hukum pembangunan, dengan menyebutkan : “Jika kita artikan dalam artian yang luas, maka hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga (institutions) dan proses-proses (processes) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan”.[22]
Lebih lanjut menurut Mochtar, pengembangan konsepsional dari hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat di Indonesia lebih luas jangkauan dan ruang lingkupnya daripada teori hukum Roscoe Pound, yaitu :
1.Lebih menonjolkan peundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia, walaupun yurisprudensi memegang peranan.
2.Sikap yang menunjukkan kepekaan terhadap kenyataan masyarakat yang menolak aplikasi mekanistis dari konsepsi law as a tool of social engineering.
3.Apabila dalam pengertian hukum termasuk hukum internasional, di Indonesia jauh sebelum konsepsi ini dirumuskan sudah menjalankan asas hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat. [23]
Di Indonesia, penggunaan hukum sebagai sarana perubahan masyarakat berhubungan erat dengan konsep penyelenggaraan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Apabila orang berpendapat bahwa proses sosial ekonomi itu hanya hendak dibiarkan berjalan menurut hukum kemasyarakatan sendiri, maka hukum tidak akan digunakan sebagai sarana perubahan, sebaliknya apabila konsepnya justeru merupakan kebalikan dari yang tersebut diatas, maka peranan hukum sangat penting untuk membangun masyarakat. Oleh karena itu, peranan hukum yang demikian berkaitan erat dengan konsep perkembangan masyarakat yang didasarkan pada perencanaan. Perencanaan membuat pilihan-pilihan yang dilakukan secara sadar tentang jalan yang mana dan cara yang bagaimana yang akan ditempuh oleh masyarakat untuk mencapai tujuannya.
Oleh karena itu, dalam konteks Indonesia, hukum sebagai sarana perubahan masyarakat haruslah didasarkan pada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat untuk dituangkan dalam garis politik dengan memperhatikan berbagai kondisi dan potensi nasional serta direalisasikan dalam proyek-proyek nasional.
Sebagai sarana social engineering, hukum juga merupakan sebagai suatu sarana ynag ditujukan untuk mengubah perikelakuan warga masyarakat sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Salah satu masalah yang dihadapi dalam bisang ini adalah, apabila terjadi apa yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagai softdevelopment, dimana hukum-hukum tertentu dibentuk dan diterapkan ternyata tidak efektif. Gejala-gejala semacam itu akan timbul apabila ada faktor-faktor tertentu yang menjadi halangan. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum, para pencari keadilan (justitiabelen), maupun golongan-golongan lain dalam masyarakat. Faktor-faktor itulah yang harus didefenisikan oleh karena merupakan suatu kelemahan yang terjadi kalau hanya tujuan-tujuan yang dirumuskan tanpa mempertimbangkan sarana-sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka prosesnya tidak hanya berhenti pada pemilihan hukum sebagai sarana saja. Kecuali pengetahuan yang mantap tentang sifat hakikat hukum, juga perlu diketahui adalah batas-batas didalam penggunaan hukum sebagai sarana (untuk mengubah ataupun mengatur peri kelakuan warga masyarakat), sebab sarana yang ada membatasi pencapaian tujuan, sedangkan tujuan menentukan sarana-sarana apakah yang tepat untuk dipergunakan.[24]
Untuk lebih memahamkan terkaitnya peranan hukum sebagai sarana dalam pembaharuan masyarakat, berikut ini akan diberikan beberapa perincian mengenai apa yang secara teknis dilakukan oleh hukum :
1.Hukum memberikan prediktabilitas dalam hubungan-hubungan didalam masyarakat. Semakin tinggi prediktabilitas yang diberikan oleh hukum, semakin tinggi pula nilai kepastian hukum itu terselenggara didalam masyarakat.
2.Hukum memberikan definisi sehingga mengurangi kesimpang-siuran dan kesalah-pahaman yang mungkin terjadi disebabkan tidak adanya pegangan yang dapat diketahui setiap orang. Termasuk kedalam pemberian definisi ini pemberian kejelasan status seseorang.
3.Hukum memberikan jaminan keteraturan dalam cara-cara hubungan-hubungan dijalankan didalam masyarakat, yaitu dengan menegaskan prosedur yang harus dilalui.
4.Hukum mengkodifikasikan tujuan yang ditentukan atau dipilih. Didalam masa pembangunan atau perubahan sosial ini kemampuan teknis hukum untuk mengkodifikasikan tujuan ini menjadi semakin penting, oleh karena pembangunan menghasilkan bermacam-macam tujuan yang ingin dicapai dalam jangka waktu yang bersamaan atau hamper bersamaan. Dengan melakukan kodifikasi tersebut maka tujuan yang ingin dicapai itu juga menjadi jelas. Sebaliknya tujuan yang kabur atau samara-samar pastilah tidak akan membantu kearah pencapaiannya dengan memuaskan.
5.Hukum memberikan kemungkinan pada orang-orang untuk menyesuaikan diri pada perubahan-perubahan. Tanpa fasilitas akomodasi ini maka warga masyarakat dapat mengalami kerugian-kerugian yang sesungguhnya dapat diatasi apabila hukum dibiarkan menjalankan akomodasi itu. [25]
Dengan mengemukakan perincian tersebut diatas, maka dapat diketahui 2 (dua) hal, yaitu : pertama, bahwa hukum itu sesungguhnya memang dipersiapkan sebagai suatu sarana untuk menangani proses-proses didalam masyarakat, termasuk didalamnya proses perubahan. Hal tersebut adalah merupakan bagian dari eksistensi hukum itu sendiri yang harus mampu untuk menyalurkan proses-proses itu secara tertib dan teratur. Kedua, dengan demikian sesungguhnya juga diketahui bahwa adanya potensi pada hukum untuk mampu menangani proses-proses perubahan didalam masyarakat.
BAB IV
PENUTUP
A.Kesimpulan.
Berdasarkan hasil pembahasan tersebut diatas yang berkaitan dengan perumusan masalah, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Bahwa didalam bidang-bidang kehidupan yang lebih memerlukan ketentraman, hukum merupakan sarana untuk mencapai atau mempertahankan stabilitas. Sebaliknya, hukum dapat dipergunakan sebagai sarana untuk merubah masyarakat sepanjang hal tersebut menyangkut bidang-bidang kehidupan yang lebih memerlukan ketertiban. Apabila hukum hendak difungsikan sebagai sarana untuk merubah masyarakat, maka hukum tidak hanya sekedar meneguhkan pola-pola yang memang telah ada didalam masyarakat, melainkan ia berusaha untuk menciptakan hal-hal atau hubungan-hubungan yang baru
B.Saran.
Hukum adalah suatu roman yang dapat menembus dari kehidupan sosial yang teramat dalam mempengaruhi kita. Hukum membentuk kehidupan kita mulai sejak lahir hingga kematian. Hukum seyogyanya dihadapi, dipelajari, dikritik, dan diubah oleh mereka yang menganutnya.
DAFTAR BACAAN
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000.
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986.
Haji Ngamehi Sembiring dkk, Sosiologi, CV. Budi, Medan, 2000.
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, 1986.
-------, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, 1970.
Muhammad Abduh, Zainul Pelly, dan Jusmadi Sikumbang, Pengantar Sosiologi, Fakultas Hukum USU, Medan, 1984.
Muhammad Nuh Lubis dan Zaini Munawir, Diktat Sosiologi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Medan, 2001.
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta, 2007.
-------, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1980.
-------, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1977.
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1994.
Jurnal Hukum KAIDAH, Vol 1 No. 2, Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Medan, Februari 2002.
Jurnal Hukum KAIDAH, Vol 1 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Medan, Oktober 2001.
Jurnal Keadilan, Vol. 2 No. 1 Tahun 2002.
[1]Jurnal Keadilan, Vol. 2 No. 1 Tahun 2002, Hal. 1.
[2]Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000, Hal. 25.
[3]Jurnal Hukum KAIDAH, Vol 1 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Medan, Oktober 2001, Hal. 66.
[4]C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, Hal. 40.
Kepala Divisi Advokasi Lentera Konstitusi dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muslim Nusantara ( FH-UMN) Al-Washliyah.
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Pemikiran.
Dalam suatu Negara hukum yang salah satu cirinya adalah bahwa setiap tindakan hukum pemerintahan harus selalu didasarkan pada asas legalitas atau harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Artinya tindakan hukum pemerintahan itu pada dasarnya adalah tindakan yang dilakukan dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku atau dalam rangka mengatur dan melayani kepentingan umum yang dikristalisasikan dalam ketentuan Undang-Undang yang bersangkutan. Ketentuan peraturan perundang-undangan ini melahirkan kewenangan tertentu bagi Pemerintah untuk melakukan tindakan tertentu.
Namun demikian, meskipun peraturan perundang-undangan dianggap sebagai sumber hukum administrasi negara yang paling penting, nemun peraturan perundang-undangan sebagai peraturan tertulis memiliki kelemahan.
Bagir Manan Mengatakan :
Sebagai ketentuan tertulis (written rule) atau hukum tertulis (written law), peraturan perundang-undangan mempunyai jangkauan yang terbatas-sekedar ”moment opname” dari unsur-unsur politik, ekonomi, sosial, budaya dan hankam yang paling berpengaruh pada saat pembentukan, karena itu mudah sekali aus (out of date) bila dibandingkan dengan perubahan masyarakat yang semakin menyepat atau dipercepat. [1]
Disamping itu, peraturan perundang-undangan tidak mampu mencakup semua persoalan yang dihadapi oleh administrasi negara. Sebab sekarang ini pada umumnya banyak pendapat yang berkeyakinan bahwa peraturan perundang-undangan saja tidak akan pernah lengkap, kehidupan masyarakat sangat rumit dan cepat berubah, sehingga tidak memungkinkan para pembuat peraturan perundang-undangan memuat berbagai persoalan hukum yang muncul dalam masyarakat (dalam memuatnya dalam suatu perundang-undangan). Tidak ada peraturan yang dapat mengikuti pandangan masyarakat yang beragam dan hubungan yang berubah-ubah dalam masyarakat.
Oleh karena itu, administrasi negara dapat mengambil tindakan-tindakan yang dianggap penting dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat, meskipun belum ada aturannya dalam peraturan perundang-undangan. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh administrasi negara ini akan melahirkan hukum tidak tertulis atau konvensi, apabila dilakukan secara teratur tanpa keberatan dari warga masyarakat, maka hukum yang tidak tertulis yang dilahirkan dari tindakan hukum administrasi negara inilah yang dapat menjadi sumber hukum dalam arti formil.
Namun, tindakan-tindakan yang dapat diambil oleh administrasi negara sebagaimana tersebut diatas, tidak dapat dilakukan dengan begitu saja, akan tetapi ada ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam rangka mewujudkan good governance.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Penulis tertarik untuk memilih dan menetapkan judul tentang “Peranan Peraturan Kebijaksanaan Sebagai Sarana Tata Usaha Negara” untuk ditelaah.
B.Perumusan Masalah.
Adapun yang menjadi permasalahan yang nantinya akan menjadi dasar dari penulisan ini dilakukan adalah :
Bagaimana peranan peraturan kebijaksanaan sebagai sarana tata usaha negara?
C.Kerangka Pemikiran.
Keberadaan peraturan kebijaksanaan tidak dapat dilepaskan dengan kewenangan bebas (vrijebevoegdheid) dari pemerintah yang sering disebut dengan istilah freies ermessen. Karena itu sebelum menjelaskan mengenai peraturan kebijaksanaan, terlebih dahulu dikemukakan mengenai freies ermessen ini.
Secara bahasa, freies ermessen berasal dari kata frei yang artinya bebas, lepas, tidak terikat, dan merdeka. Sedangkan ermessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga, dan memperkirakan. Freies Ermessen berarti orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga dan mempertimbangkan sesuatu. Istilah ini kemudian secara khas digunakan dalam bidang pemerintahan, sehingga freies ermessen (diskresionare) diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada peraturan perundang-undangan. [2]
Definisi lain yang hampir senada dikemukakan oleh Nana Saputra sebagai berikut :
Suatu kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi, yaitu kebebasan yang pada asasnya memperkenankan alat administrasi negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan (doelmatigheid) daripada berpegang teguh kepada ketentuan hukum atau kewenangan yang sah untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas menyelenggarakan kepentingan umum. [3]
Meskipun pemberian freies ermessen kepada Pemerintah atau administrasi negara merupakan konsekuensi logis dari konsepsi welfare state, akan tetapi dalam kerangka negara hukum, freies ermessen ini tidak dapat digunakan tanpa batas. Atas dasar itu Sjachran Basah mengemukakan unsur-unsur freies ermessen dalam suatu negara hukum yaitu sebagai berikut :
1.Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis publik.
2.Merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi negara.
3.Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum.
4.Sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri.
5.Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba.
6.Sikap tindak itu dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun secara hukum. [4]
Freies Ernessen ini muncul sebagai alternatif untuk mengisi kekurangan dan kelemahan didalam penerapan asas legalitas. Bagi negara yang bersifat welfare State, asas legalitas saja tidak cukup untuk dapat berperan secara maksimal dalam melayani kepentingan masyarakat yang berkembang pesat sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
Kemudian freies ermessen ini bertolak dari kewajiban pemerintah dalam welfare state , dimana tugas pemerintah yang utama adalah memberikan pelayanan umum atau mengusahakan kesejahteraan bagi warga negara disamping memberikan perlindungan bagi warga negara. Apabila dibandingkan dengan negara kita, freies ermessen muncul bersama dengan pemberian tugas kepada pemerintah untuk merealisir tujuan negara sebagaimana tercantum dalam alenia keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena tugas utama pemerintah dalam konsep welfare state memberikan pelayanan bagi warga negara, maka muncul prinsip ”pemerintah tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat dengan alasan tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya”.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.Pengertian Peraturan Kebijaksanaan.
Didalam penyelenggaraan tugas-tugas administrasi Negara, pemerintah banyak mengeluarkan kebijaksanaan yang dituangkan dalam berbagai bentuk, seperti garis-garis kebijaksanaan (beleidslijnen), het beleid (kebijaksanaan), regelingen (petunjuk-petunjuk) dan lain sebagainya.
Menurut Philipus M. Hadjon :
Peraturan kebijaksanaan pada hakikatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha Negara yang bertujuan “naar buiten gebracht schricftelijk beleid” yaitu menempatkan keluar suatu kebijakan tertulis yang hanya berfungsi sebagai bagian dari operasional penyelenggaraa tugas-tugas pemerintahan, karenanya tidak dapat merubah ataupun menyimpangi peraturan perundang-undangan. [5]
Sementara itu Commissie Wetgevingsvraagstukken merumuskan peraturan kebijaksanaan sebaga :
Peraturan umum tentang pelaskanaan wewenang pemerintahan terhadap warga negara (warga negara juga organ pemerintahan lainnya) yang ditetapkan berdasarkan kekuasaan sendiri oleh instansi pemerintahan yang berwenang atau instansi pemerintahan yang secara hirarki lebih tinggi. Peraturan kebijaksanaan secara essensial berkenaan dengan organ pemerintahan dalam hal ini semata-mata menggunakan kewenangan untuk menjalankan tindakan-tindakan pemerintahan. [6]
Secara praktis kewenangan diskresionare administrasi negara yang kemudian melahirkan peraturan kebijaksanaan , mengandung 2 (dua) asfek pokok ; pertama : kebebasan menafsirkan mengenai ruang lingkup wewenang yang dirumuskan dalam peraturan dasar wewenangnya. Aspek pertama ini lazim dikenal dengan kebebsasan menilai yang bersifat obyektif. Kedua : kebebasan untuk menentukan sendiri dan menentukan secara mandiri dari pemerintah inilah yang melahirkan peraturan kebijaksanaan.
Menurut P.J.P. Tak peraturan kebijaksanaan adalah :
Peraturan umum yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah yang berkenaan dengan pelaksanaan wewenang pemerintahan terhadap warga negara atau terhadap instansi pemerintahan lainnya dan pembuatan peraturan tersebut tidak memiliki dasar yang tegas dalam Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang formal baik langsung maupun tidak langsung. Artinya peraturan kebijaksanaan tidak didasarkan pda kewenangan pembuatan undang-undang dan oleh karena itu tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan yang mengikat umum, akan tetapi didasarkan pada wewenang pemerintahan suatu organ administrasi negara yang berkenaan dengan pelaksanaan wewenangnya.[7]
B.Ciri-Ciri Peraturan Kebijaksanaan.
Mengenai ketentuan mengikat dari peraturan kebijaksanaan diantara para pakar hukum tidak terdapat kesamaan, menurut Bagir Manan, peraturan kebijaksanaan sebagai peraturan yang bukan peraturan perundang-undangan tidak langsung mengikat secara hukum. Peraturan kebijaksanaan pada dasarnya ditujukan kepada badan atau pejabat administrasi negara sendiri. Jadi yang pertama-tama melaksanakan ketentuan yang termuat dalam adalah badan atau pejabat administrasi negara. Meskipun demikian, ketentuan tersebut secara tidak langsung akan akan dapat mengenai masyarakat umum. Adapun Indroharto berpendapat bahwa peraturan kebijaksanaan itu bagi masyarakat menimbulkan keterikatansecara tidak langsung. Menurut A. Hamid Attamimi, peraturan kebijaksanaan mengikat secara umum, karena masyarakat yang terkena peraturan itu tidak dapat berbuat lain kecuali mengikutinya. Sedangkan Marcus Lukman mengatakan, kekuatan mengikat peraturan kebijaksanaan ini tergantung jenisnya, peraturan kebijaksanaan intra-legal dan kontra-legal yang pembentukannya berdasarkan kebebasan mempertimbangkan intra-legal menjadi bahagian integral dari tata hirarki peraturan perundang-undangan , kekuatan mengikatnya juga berderajat peraturan perundang-undangan, sedangkan peraturan kebijaksanaan ekstra-legal dan kontra-legal yang pembentukannya berdasarkan kebebasan mempertimbangkan ekstra-legal tidak memiliki kekuatan mengikat berderajat peraturan perundang-undangan. [8]
Berikut ini disajikan mengenai ciri-ciri peraturan kebijaksanaan, Bagir Manan menyebutkan bahwa ciri-ciri dari sebuah peraturan kebijaksanaan adalah :
1.Peraturan kebijaksanaan bukan merupakan peraturan perundang-undangan.
2.Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan tidak dapat diberlakukan pada peraturan kebijaksanaan.
3.Peraturan kebijaksanaan tidak dapat diuji secara wetmatigheid, karena memang tidak ada dasar peraturan perundang-undangan untuk membuat peraturan kebijaksanaan tersebut.
4.Peraturan kebijaksanaan dibuat berdasarkan freies ermessen dan ketiadaan wewenang administrasi bersangkutan membuat peraturan perundang-undangan.
5.Pengujian terhadap peraturan kebijaksanaan lebih diserahkan kepada doelmatigheid dan karena itu batu ujinya adalah asas-asas umum pemerintahan yang layak.
6.Dalam praktek diberi format dalam berbagai bentuk dan jenis aturan, yakni keputusan, instruksi, surat edaran, pengumuman dan lain-lain, bahkan dapat dijumpai dalam bentuk peraturan.[9]
Berdasarkan ciri-ciri tersebut, tampak ada beberapa persamaan antara peraturan perundang-undangan dengan peraturan kebijaksanaan. A. Hamid Attamini menyebutkan unsur-unsur persamaannya sebagai berikut :
1.Aturan yang berlaku umum.
Peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijaksanaan mempunyai adresat atau subyek norma dan pengaturan perilaku atau obyek norma yang sama, yaitu bersifat umum dan abstrak.
2.Peraturan yang berlaku keluar.
Peraturan perundang-undangan berlaku keluar dan ditujukan kepada masyarakat umum, demikian juga peraturan kebijaksanaan berlaku keluar dan ditujukan kepada masyarakat umum yang bersangkutan.
3.Kewenangan pengaturan yang bersifat umum / publik.
Peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijaksanaan ditetapkan oleh lembaga / pejabat yang mempunyai kewenangan umum / publik itu.[10]
C.Ketetapan Yang Sah Dalam Hukum Administrasi Negara.
Dalam membuat suatu ketetapan harus diperhatikan beberapa ketentuan hukum, baik yang tercantum dalam hukum administrasi negara tentang tata cara atau prosedur administrasi tentang pembuatan suatu ketetapan. Sebab apabila ketentuan-ketentuan hukum ini tidak diperhatikan maka ada kemungkinan ketetapan yang dibuat itu akan mengandung kekurangan dan kekurangan dalam membuat suatu ketetapan dapat menjadi sebab ketetapan itu tidak sah.
Timbul pertanyaan, apakah syarat-syarat itu yang dapat merupakan syarat-syarat untuk adanya ketetapan itu? Mengenai hal ini Prof. Van Der Pot mengemukakan 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi agar suatu ketetapan dapat berlaku sebagai ketetapan yang sah, yaitu :
1.Ketetapan harus dibuat oleh badan (orgaan) yang berwenang (bevoegd) membuatnya.
2.Karena ketetapan itu adalah suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring) maka pembentukan kehendak itu tidak boleh mengandung kekurangan yuridis yaitu tidak boleh mengandung paksaan, kekeliruan dan penipuan.
3.Ketetapan itu harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatnya harus juga memperhatikan tata cara (prosedure) membuat ketetapan itu, bilamana tata cara ini ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut.
4.Isi dan tujuan ketetapan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya. [11]
Kekuatan hukum ketetapan yang sah dapat ditinjau dari 2 (dua) segi, yaitu :
Dari segi kekuatan hukum formil (formile rechts kracht).
Dari segi kekuatan hukum materil (materiile rechts kracht).
Yang dimaksud kekuatan hukum formil dari suatu ketetapan yang sah adalah : pengaruh yang dapat diadakan oleh karena adanya ketetapan itu, suatu ketetapan mempunyai kekuatan hukum formil bilamana ketetapan itu tidak lagi dapat dibantah oleh suatu alat hukum (rechtsmiddel), misalnya naik banding.
Mengenai kekuatan hukum formil suatu ketetapan yang yuridis sempurna, telah diterima umum suatu asas sebagai berikut :
Alat negara yang membuat suatu ketetapan yang yuridis sempurna tidak dapat membantahnya, kecuali dalam hal jangka waktu untuk memohon banding belum lewat atau dengan perkataan lain pada umumnya kekuatan hukum formil suatu ketetapan yang yuridis sempurna tidak dapat dibantah oleh alat negaran yang membuatnya.[12]
Kranenburg dan Vegting menyebutkan ada 4 (empat) alat hukum yang dapat digunakan oleh yang dikenai sesuatu ketetapan untuk membantah ketetapan itu, sebagai berikut :
1.Yang dikenai suatu ketetapan dapat memohon pembatalan ketetapan itu yaitu dalam hal kemungkinan untuk memohon banding diberikan kepadanya.
2.Yang dikenai suatu ketetapan dapat mengajukan permohonan kepada Pemerintah atau kepada suatu alat Pemerintah lain yang berwenang, supaya ketetapan itu dibatalkan (pembatalan yang diadakan diluar banding).
3.Yang dikenai suatu ketetapan dapat mengajukan permasalahannya kepada Hakim biasa (sipil) sehingga ketetapan itu dinyatakan batal karena bertentangan dengan hukum.
4.Yang dikenai suatu ketetapan tidak melaksanakan apa yang dicantumkan dalam ketetapan itu dan setelah perkara yang bersangkutan dibawa kemuka Hakim, maka diusahakannya supaya Hakim itu menyatakan ketetapan yang bersangkutan batal karena bertentangan dengan hukum. [13]
Selain ketetapan yang mempunyai kekuatan hukum formil, ada juga ketetapan yang mempunyai kekuatan hukum materil, maksudnya adalah pengaruh yang dapat diadakan oleh karena isi (materi) ketetapan itu. Suatu ketetapan mempunyai kekuatan hukum materil bilamana ketetapan itu tidak lagi dapat ditiadakan oleh alat negara yang membuatnya.
Prof. Van Der Pot mengemukakan pendapatnya berkenaan dengan kekuatan hukum materil dari suatu ketetapan yang sah, yaitu : ”Apakah suatu ketetapan oleh alat Pemerintah yang membuatnya dapat diubah atau ditarik kembali dan apakah ada alasan untuk mengajukan permohonan dari yang bersangkutan supaya ketetapan diubah atau ditarik kembali, maka kita sebut hal ini kekuatan hukum materil”. Timbul pertanyaan, dapatkah suatu ketetapan yang mempunyai kekuatan hukum materil dibantah? Pertanyaan ini dijawab oleh Prof. Donner dalam bukunya De Rechtskracht van Administrative Beschikking, bahwa apabila perlu pada asasnya setiap ketetapan dapat ditarik kembali oleh alat negara yang membuatnya, oleh karena ketetapan itu suatu perbuatan hukum yang bersegi satu yang dilakukan oleh pemerintah, maka kemudian ketetapan itu juga dapat ditarik kembali oleh alat negara yang membuatnya dengan tidak perlu ada persetujuan dari yang dikenai. Maka alat negara yang membuat suatu ketetapan mempunyai kemerdekaan penuh untuk kemudian menarik kembali ketetapan itu apabila perlu. Tetapi kemerdekaan tersebut tidak dapat dijalankan dengan begitu saja, oleh sebab itu digunakan kata-kata pada asasnya dapat ditarik kembali. [14]
Kranenburg dan Vegting meragukan asas ini, mereka mengemukakan bahwa penarikan kembali suatu ketetapan, karena ketetapan itu adalah suatu perbuatan hukum yang bersegi satu, adalah kurang tepat. Jadi alasan menarik kembali suatu ketetapan adalah karena sifat dan corak akibat hukum yang ditimbulkan oleh isi ketetapan itu dan yang ditimbulkan oleh peraturan-peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Sedangkan Prins menyetujui kemerdekaan untuk menarik kembali suatu ketetapan oleh alat negara yang membuat ketetapan itu, tetapi kemerdekaan tersebut harus dibatasi oleh syarat kepercayaan baik yang seharusnya ada diantara para pihak dalam suatu pergaulan hukum. Mengenai hal penarikan kembali suatu ketetapan harus diindahkan asas ”hak-hak yang telah diperoleh tidak lagi dapat dicabut kembali apalagi kalau hak-hak yang diperoleh itu telah menggambarkan keadaan yang sungguh-sungguh didalam suatu pergaulan sosial yang ada”. [15]
BAB III
HASIL PEMBAHASAN
Peranan Peraturan Kebijaksanaan Sebagai Sarana Tata Usaha Negara
Pelaksanaan pemerintahan sehari-hari menunjukkan betapa badan atau pejabat tata usaha negara acap kali menempuh berbagai langkah kebijaksanaan tertentu, antara lain menciptakan apa yang kini sering dinamakan peraturan kebijaksanaan. Produk semacam ini tidak terlepas dari kaitan penggunaan freies ermessen, yaitu badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan merumuskan kebijaksanaannya itu dalam berbagai bentuk ”juridische regels”, seperti halnya peraturan, pedoman, pengumuman, surat edaran dan mengumumkan kebijaksanaan itu.
Suatu peraturan kebijaksanaan pada hakekatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis, namun tanpa disertai kewenangan pembuatan peraturan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang menciptakan peraturan kebijaksanaan tersebut. Peraturan-peraturan kebijaksanaan dimaksud pada kenyataannya telah merupakan bagian dari kegiatan pemerintahan (bestuuren) dewasa ini. [16]
Peraturan-peraturan kebijaksanaan bukan merupakan peraturan perundang-undangan. Badan yang mengeluarkan peraturan-peraturan kebijaksanaan adalah in casu tidak memiliki kewenangan pembuatan peraturan. Peraturan-peraturan kebijaksanaan juga tidak mengikat hukum secara langsung, namun mempunyai relevansi hukum. Peraturan-peraturan kebijaksanaan memberi peluang bagaimana suatu badan tata usaha negara menjalankan kewenangan pemerintahan (beschikkingbevoegdheid). Hal tersebut dengan sendirinya harus dikaitkan dengan kewenangan pemerintahan atas dasar penggunaan discretionare karena jika tidak demikian, maka tidak ada tempat bagi peraturan-peraturan kebijaksanaan.
Suatu perbedaan hukum lain yang penting antara peraturan perundang-undangan dengan peraturan-peraturan kebijaksanaan adalah bahwa peraturan kebijaksanaan mengandung suatu syarat pengetahuan yang tidak tertulis. Ini berarti manakala terdapat keadaan-keadaan khusus yang mendesak, maka badan tata usaha negara didalam hal yang sifatnya individual ini harus menyimpang dari peraturan kebijaksanaan guna kemaslahatan sang warga. [17]
Di Indonesia, adanya serangkaian peraturan kebijaksanaan dapat dilihat pada berbagai keputusan. Hanya saja produk peraturan kebijaksanaan sedemikian masih belum secara sadar diberlakukan sebagai peraturan kebijaksanaan mengingat ketiadaan wewenang pembuatan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang membuat peraturan kebijaksanaan itu kadang kala masih dilihat dari sudut ukuran pendekatan hukum. Hal dimaksud mengakibatkan bahwa suatu peraturan kebijaksanaan ada kalanya dinilai sebagai produk perbuatan penguasa yang melanggar hukum.
A.Hamid S. Attamimi sebagaimana yang dikemukakan Van Kreveld mengatakan bahwa :
Peraturan kebijaksanaan dapat timbul dalam berbagai hal, yakni didalam kerangka ruang lingkup perundang-undangan yang ada dan diluar kerangka ruang lingkup perundang-undangan atau juga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan itu sendiri. Hal ini sesuatu yang aneh kedengarannya. Apabila terhadap dua jenis yang pertama orang menganggapnya sebagai hal yang wajar karena peraturan perundang-undangan membiarkannya ataupun tidak melarangnya, namun terhadap yang ketiga orang masih meragukannya. Dapatkah suatu peraturan kebijakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. [18]
Bentuk dan format peraturan kebijaksanaan ada yang sama dengan peraturan perundang-undangan, lengkap dengan pembukaan berupa konsiderans ”menimbang” dan dasar hukum ”mengingat”, batang tubuh yang berupa pasal-pasal, bagian-bagian, bab-bab serta penutup yang sepenuhnya menyerupai peraturan perundang-undangan. Tetapi selain itu juga peraturan kebijaksanaan tampil dalam bentuk dan format lain, seperti nota dinas, surat edaran, petunjuk teknis, pengumuman, dan sebagainya. Bahkan tampil dalam bentuk lisan (kepada bawahan) yang memang tidak mempunyai bentuk dan format. [19]
Disamping terdapat kesamaan, ada pula beberapa perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan peraturan kebijaksanaan. A. Hamid Attamimi menyebutkan perbedaan-perbedaannya sebagai berikut :
1.Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan fungsi negara.
Pembentukan hukum melalui perundang-undangan dilakukan oleh rakyat sendiri, oleh wakil-wakil rakyat, atau sekurang-kurangnya dengan persetujuan wakil-wakil rakyat. Kekuasaan dibidang perundang-undangan atau kekuasaan legislatif hanya diberikan kepada lembaga yang khusus untuk itu yaitu lembaga legislatif (sebagai organ kenegaraan yang bertindak untuk dan atas nama rakyat).
2.Fungsi peraturan kebijaksanaan ada pada pemerintah dalam arti sempit (eksekutif).
Kewenangan pemerintahan dalam arti sempit atau ketataprajaan (kewenangan eksekutif) mengandung juga kewenangan pembentukan peraturan-peraturan dalam rangka penyelenggaraan fungsinya. Oleh karena itu kewenangan pembentukan peraturan kebijaksanaan yang bertujuan mengatur lebih lanjut penyelenggaraan pemerintahan senantiasa dapat dilakukan oleh setiap lembaga pemerintah yang mempunyai wewenang penyelenggaraan pemerintah.
3.Materi muatan peraturan perundang-undangan berbeda dengan materi muatan peraturan kebijaksanaan.
Peraturan kebijaksanaan mengandung materi muatan yang berhubungan dengan kewenangan membentuk keputusan-keputusan dalam arti beschikkingen, kewenangan bertindak dalam hukum privat, dan kewenangan membuat rencana-rencana yang memang ada pada lembaga pemerintahan. Sedangkan materi muatan peraturan perundang-undangan mengatur tata kehidupan masyarakat yang jauh lebih mendasar, seperti mengadakan suruhan dan larangan untuk berbuat atau tidak berbuat, yang apabila perlu disertai dengan sanksi.
4.Sanksi dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijaksanaan.
Sanksi pidana dan sanksi pemaksa yang jelas mengurangi dan membatasi hak-hak asasi warga negara dan penduduk hanya dapat dituangkan dalam undang-undang yang pembentukannya harus dilakukan dengan persetujuan rakyat atau dengan persetujuan wakil-wakilnya. Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah lainnya hanya dapat mencantumkan sanksi pidana bagi pelanggaran ketentuannya apabila hal itu tegas-tegas diatribusikan oleh undang-undang. Peraturan kebijaksanaan hanya dapat mencantumkan sanksi administratif bagi pelanggaran ketentuan-ketentuannya. [20]
Adapun peranan peraturan kebijaksanaan adalah harus dapat difungsikan secara tepat guna dan berdayaguna yaitu dalam hal sebagai berikut :
1.Tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan yang melengkapi, menyempurnakan, dan mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada peraturan perundang-undangan.
2.Tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan bagi keadaan vacum peraturan perundang-undangan.
3.Tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan bagi kepentingan-kepentingan yang belum terakomodasi secara patut, layak, benar dan adil dalam peraturan perundang-undangan.
4.Tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan untuk mengatasi kondisi peraturan perundang-undangan yang sudah ketinggalan zaman.
5.Tepat guna dan berdaya guna bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi administrasi negara dibidang pembangunan yang bersifat cepat berubah atau memerlukan pembaharuan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. [21]
Sebagaimana pembuatan dan penerapan peraturan perundang-undangan yaitu harus memperhatikan beberapa syarat. Menurut Indroharto, pembuatan peraturan kebijaksaan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.Tidak boleh bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang diskresioner yang dijabarkan itu.
2.Tidak boleh nyata-nyata bertentangan dengan nalar yang sehat.
3.Ia harus dipersiapkan dengan cermat; semua kepentingan, keadaan-keadaan serta alternatif-alternatif yang perlu dipertimbangkan.
4.Isi dari kebijaksanaan harus memberikan kejelasan yang cukup mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari warga yang terkena peraturan tersebut.
5.Tujuan-tujuan dan dasar-dasar pertimbangan mengenai kebijaksanaan yang akan ditempuh harus jelas.
6.Ia harus memenuhi syarat kepastian hukum materil, artinya hak-hak yang telah diperoleh dari warga masyarakat yang terkena harus dihormati, kemudian juga harapan-harapan warga yang pantas telah ditimbulkan jangan sampai diingkari. [22]
Sedangkan dalam penerapan atau penggunaan peraturan kebijaksanaan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.Harus sesuai dan serasi dengan tujuan undang-undang yang memberikan beoordelingsvrijheid (ruang kebebasan bertindak).
2.Serasi dengan asas-asas hukum umum yang berlaku, seperti :
a.Asas perlakuan yang sama menurut hukum.
b.Asas kepatutan dan kewajaran.
c.Asas keseimbangan.
d.Asas pemenuhan kebutuhan dan harapan.
e.Asas kelayakan mempertimbangkan segala sesuatu yang relevan dengan kepentingan publik dan warga masyarakat.
3.Serasi dan tepat guna dengan tujuan yang hendak dicapai. [23]
BAB IV
PENUTUP
A.Kesimpulan.
Berdasarkan hasil pembahasan tersebut diatas yang berkaitan dengan perumusan masalah, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Suatu peraturan kebijaksanaan pada hakekatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis, namun tanpa disertai kewenangan pembuatan peraturan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang menciptakan peraturan kebijaksanaan tersebut. Peraturan-peraturan kebijaksanaan dimaksud pada kenyataannya telah merupakan bagian dari kegiatan pemerintahan (bestuuren) dewasa ini.
Adapun peranan peraturan kebijaksanaan adalah harus dapat difungsikan secara tepat guna dan berdaya guna yaitu dalam hal :Tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan yang melengkapi, menyempurnakan, dan mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada peraturan perundang-undangan.. Tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan bagi keadaan vacum peraturan perundang-undangan. Tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan bagi kepentingan-kepentingan yang belum terakomodasi secara patut, layak, benar dan adil dalam peraturan perundang-undangan. Tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan untuk mengatasi kondisi peraturan perundang-undangan yang sudah ketinggalan zaman. Tepat guna dan berdaya guna bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi administrasi negara dibidang pembangunan yang bersifat cepat berubah atau memerlukan pembaharuan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi
B.Saran.
Hukum adalah suatu roman yang dapat menembus dari kehidupan sosial yang teramat dalam mempengaruhi kita. Hukum membentuk kehidupan kita mulai sejak lahir hingga kematian. Hukum seyogyanya dihadapi, dipelajari, dikritik, dan diubah oleh mereka yang menganutnya. Sebab hukum yang benar adalah titik universal tertinggi dalam setiap studi tentang kehidupan.
DAFTAR BACAAN
A. Hamid. S Attamimi, Hukum Tentang Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan), Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1993.
Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1979.
Bagir Manan, Peranan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Armico, bandung, 1987.
Marcus Lukman, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan Dalam Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan Didaerah, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1996.
Nana Saputra, Hukum Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta, 1988.
Philipus M. Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2001.
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002.
Saiful Anwar dan Marzuki Lubis, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Gelora Madani Press, Medan, 2004.
Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi, Rineka Cipta, Jakarta, 1992.
[1]Bagir Manan, Peranan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Armico, bandung, 1987, Hal. 1.
[2]Marcus Lukman, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan Dalam Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan Didaerah, Universitas Padjadjaran, bandung, 1996, Hal. 205.
[3] Nana Saputra, Hukum Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta, 1988, Hal. 15.
[4] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002, Hal. 134.
[5]Philipus M. Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2001, Hal. 152.
[18] A. Hamid. S Attamimi, Hukum Tentang Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan), Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1993, Hal. 12.
[19] Saiful Anwar dan Marzuki Lubis, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Gelora Madani Press, Medan, 2004, Hal. 117.