Oleh
Eka N.A.M. Sihombing, SH, M.Hum.
Wakil Direktur Lentera Konstitusi.
Sepanjang tahun 2011, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengevaluasi sekitar 9000 peraturan daerah (perda). Dari jumlah itu, sebanyak 351 perda direkomendasikan untuk dibatalkan. dari perda-perda yang dibatalkan sebagian besar merupakan perda yang mengatur tentang pajak dan retribusi, perda yang mengatur pelarangan peredaran minuman beralkohol, dan perda tentang sumbangan pihak ketiga. Khusus mengenai perda pelarangan peredaran minuman beralkohol antara lain Perda Nomor 7 tahun 2005 di Kota Tangerang, Perda Nomor 15 tahun 2006 di Kabupaten Indramayu, dan Perda Nomor 11 tahun 2010 di Kota Bandung, dibatalkan karena melanggar aturan yang lebih tinggi, yakni Keppres Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol. Pembatalan ini menimbulkan polemik di masyarakat. Sebagian kalangan menyatakan bahwa langkah Mendagri tersebut melanggar aturan yang berlaku sebagaimana tercantum dalam Pasal 145 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah selain itu juga terkesan Mendagri menolerir legalisasi miras di tengah-tengah masyarakat. Namun Kemendagri berkilah bahwa yang dilakukannya adalah merupakan klarifikasi bukan membatalkan perda tersebut, kewenangan pembatalan terhadap perda bukan merupakan kewenangan Mendagri akan tetapi merupakan kewenangan Presiden.
Klarifikasi Peraturan Daerah
Secara eksplisit, istilah klarifikasi tercantum dalam ketentuan Pasal 1 angka Peraturan Mendagri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah yang menyebutkan "Klarifikasi adalah pengkajian dan penilaian terhadap Perda dan Perkada untuk mengetahui bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi". Klarifikasi merupakan upaya pengawasan yang bersifat represif terhadap produk hukum perda dan perkada yang telah diundangkan oleh pemerintah daerah, Pengawasan terhadap aktifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah termasuk pengawasan terhadap produk hukum daerah merupakan suatu konsekuensi logis Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hal ini menunjukkan bahwa di dalam NKRI tidak boleh ada bagian daerah yang lepas atau tidak ada negara di dalam negara. Alat uji untuk menilai perda atau perkada adalah kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam hal perda atau perkada dianggap bertentangan dengan hal tersebut, maka perda atau perkada tersebut dapat dibatalkan oleh Mendagri yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri. Dalam hal pemerintah daerah tidak melaksanakan hasil klarifikasi, maka Mendagri mengusulkan kepada Presiden untuk membatalkan perda dimaksud.(lihat Pasal 75-79 Permendagri Nomor 53 Tahun 2011).
Bila dianalisis, ketentuan Permendagri Nomor 53 Tahun 2011 juga dapat dikatakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, karena berdasarkan ketentuan Pasal 145 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 keputusan pembatalan perda ditetapkan melalui instrumen hukum Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda bukan melalui instrumen hukum Permendagri.
Pembatalan Perda Pelarangan Miras
Sebenarnya apabila ditelusuri pembatalan terhadap tiga perda tentang pelarangan peredaran minuman keras, yakni: Perda Nomor 7 tahun 2005 di Kota Tangerang, Perda Nomor 15 tahun 2006 di Kabupaten Indramayu, dan Perda Nomor 11 tahun 2010 di Kota Bandung, memang bertentangan dengan Keppres Nomor 3 Tahun 1997 maupun Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 15/M-DAG/PER/3/2006 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Impor, Pengedaran Dan Penjualan, Dan Perizinan Minuman Beralkohol. Karena ketiga perda tersebut melarang secara total baik produksi maupun peredaran minuman beralkohol, sedangkan ketentuan Keppres maupun Peraturan Menteri Perdagangan masih memungkinkan produksi maupun peredaran minuman beralkohol dengan batasan-batasan tertentu. Namun, telah disebutkan sebelumnya bahwa alat uji untuk menilai keberlakuan suatu perda bukan hanya peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, akan tetapi ada alat uji lain yakni kepentingan umum (walaupun makna "kepentingan umum" itu sendiri masih menjadi perdebatan). Ketika kepentingan mayoritas masyarakat di daerah menginginkan pelarangan produksi maupun peredaran minuman beralkohol dengan pertimbangan kondisi khusus di daerah yang religius, tentunya pengaturan mengenai hal tersebut menjadi keniscayaan bagi daerah.
Pemerintah pusat dalam hal ini seharusnya tidak gegabah melakukan pembatalan perda-perda tersebut sebelum melakukan kajian yang komprehensif terlebih dahulu untuk mencari akar permasalahan yang sesungguhnya. Apalagi pengaturan minuman beralkohol merupakan suatu hal yang sangat sensitif bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Penutup
Tidak menutup kemungkinan, akan muncul perda-perda sejenis di berbagai daerah, untuk itu sebaiknya pemerintah pusat melakukan langkah-langkah konkrit untuk segera melakukan kajian dan perubahan terhadap Keppres Nomor 3 Tahun 1997 maupun Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15/M-DAG/PER/3/2006. Sehingga nantinya dimungkinkan bagi daerah-daerah tertentu untuk memberlakukan perda tentang pelarangan miras, tentunya dengan mempertimbangkan kondisi khusus dan keinginan mayoritas masyarakat daerah.